Kamis, 14 Desember 2017

Lowongan Kerja Perawat Wanita

FEMALE NURSE (English Full)

KARTIKA BINA MEDIKATAMA, PT (MEDIKA PLAZA)

Jakarta Selatan

15-Dec-17
jobsDB ref: JID200003001720606
Requirements:
  • D3 from accredited  Nursing Academy.
  • 3 years working experiences
  • Max. 35 years old, good looking is preferable.
  • Having valid registration certificate (STR)
  • Having Hiperkes and BTCLS  valid certificate is preferable
  • Service oriented, smiling and friendly personality
  • Good in communication and proactive person.
If you meet our requirements, please send your CV with a detail career history & recent photograph to :
HCBS Department - PT Kartika Bina Medikatama
Beltway Office Park, Tower C 2nd Floor, Jl. TB Simatupang Kav. 41
Jakarta 12550
Visit Our Website www.medikaplaza.com for more information

Minggu, 10 Desember 2017

Tipe wabah

Tipe wabah
1.    Point source outbreak
In a point source outbreak, persons are exposed over a brief time to the same source, such as a single meal or an event. The number of cases rises rapidly to a peak and falls gradually. The majority of cases occur within one incubation period of the disease.
2.       Continuous Common Source
In a continuous common source outbreak, persons are exposed to the same source but exposure is prolonged over a period of days, weeks, or longer. The epi curve rises gradually and might plateau.
3.       Propagated (person to person) Outbreak
In a propagated outbreak, there is no common source because the outbreak spreads from person-to-person. The graph will assume the classic epi curve shape of progressively taller peaks, each being one incubation period apart.

Pengertian dan Klasifikasi Penyakit Menular

Pengertian dan Klasifikasi Penyakit Menular

Pengertian Penyakit Menular

Penyakit Menular adalah penyakit yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit (Permenkes RI No. 82 Tahun 2014).

Pengelompokan penyakit menular
Menurut Chandra (20009) penyakit menular dapat dikelompokkan berdasarkan :
A.      Etiologi
Berdasarkan etiologinya, penyakit menular dikelompokkan atas: 
1.         Penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
2.         Penyakit menular yang disebabkan oleh virus
3.         Penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa
4.         Penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
5.         Penyakit menular yang disebabkan oleh leptospira
6.         Penyakit menular yang disebabkan oleh jamur
B.      Cara penularan
Berdasarkan cara penularannya, penyakit menular dikelompokkan atas: 
1.         Penyakit menular yang menular melalui vektor. Cth : DBD, malaria
2.         Penyakit menular yang menular melalui permukaan kulit. Cth : penyakit kelamin, HIV
3.         Penyakit menular yang menular melalui udara. Cth : Tb, influenza
4.         Penyakit menular yang menular melalui air/makanan. Cth :  tifus abdominalis, hepatitis
C.      Aspek Epidemiologi
Berdasarkan aspek epidemiologi, penyakit menular dikelompokkan atas:
1.         Zoonosis : penyebaran penyakit oleh hewan bertulang belakang ke manusia
2.         Sporadis : penyebaran penyakit yang tidak merata pada tempat dan waktu yang berbeda
3.         Endemis : suatu keadaan berjangkitnya prevalensi suatu jenis penyakit yang terjadi sepanjang tahun dengan frekuensi yang rendah disuatu tempat.
4.         Epidemis : berjangkitnya suatu penyakit pada sekelompok orang di masyarakat  dengan jenis penyakit, waktu dan sumber yang sama di luar keadaan yang biasa (Kejadian Luar Biasa).

5.         Pandemis : penyebaran penyakit dalam waktu yang cepat dan terjadi bersamaan di berbagai tempat di seluruh dunia.

Berkas pengajuan jabatan fungsional Dosen

Berkas pengajuan jabatan fungsional Dosen
1.       Surat Pengantar Rekomendasi pengusulan jafung
2.       Fotocopy Ijasah S1, S2 dan transkrip nilai yang dilegalisir
3.       Fotocopy SK  Dosen tetap
4.       Surat pernyataan dosen tetap
5.       Fakta integritas
6.       NIDN (print dari forlap dikti)
7.       Riwayat mengajar (print dari forlap dikti)
8.       Daftar riwayat hidup
9.       Surat keterangan sehat
10.   SK Mengajar 1 tahun terakhir
11.   Surat keterangan telah melakukan pengabdian masyarakat dari LPPM STikes
12.   Surat keterangan telah melakukan pengabdian masyarakat dari tempat pengab
13.   Daftar hadir, dokumentasi pengab
14.   Surat keterangan telah memuat tulisan dalam bentuk jurnal
15.   Surat keterangan telah menyerahkan laporan penelitian ke perpusatakaan
16.   Jurnal
17.   Fotocopy sertitikat seminar/pelatihan




SAP Tifus Abdominalis

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
 


I.     Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan ini diharapakan siswa/i dapat memahami tentang tifus abdominalis
II.    Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan ini penyuluhan siswa/i dapat memahami tentang :
1.         Pengertian dan penyebab
2.         Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3.         Pengobatan dan pencegahan tifus abdominalis 
III. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Pokok Bahasan                       :           Tifus abdominalis
Sub pokok bahasan                 :           1.  Pengertian dan penyeba tifus abdominalis
2.      Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3.      Pengobatan dan pencegahan tifus abdominalis 
IV. Sasaran                          :           Siswa/I SMA Negeri 1 Sibolga
V. Waktu dan Tempat Kegiatan
Waktu                                    :           1 X 45 menit
Tempat                                   :           Ruangan Kelas
VI.     Metode dan Media
Metode                                    :           Ceramah dan diskusi/tanya jawab
Media                                      :           Leaflet
VII.  Tahapan Pelaksanaan
No
Tahapan
Kegiatan Penyuluh
Kegiatan Peserta
Waktu
1
Pendahuluan
Memberi salam kepada peserta, memperkenalkan diri  dan menyampaikan maksud dan  tujuan kegiatan penyuluhan
Mendengarkan
5 menit
2
Kegiatan inti
-   Menjelaskan pengertian dan penyebab tifus abdominalis
-   Memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya
-   Memberikan penjelasan tentang pertanyaan peserta
-   Menjelaskan tentang tanda dan gejala serta penularan
-   Menjelaskan pengobatan dan pecegahan tifus abdominalsi
-   Mendengarkan



-     Bertanya



-     Mendengarkan


-     Mendengarkan



-     Mendengarkan


30 menit
3
Penutup
-   Melakukan evaluasi
-   Menjelaskan kembali jika ada materi yang kurang dipahami
-   Membuat kesimpulan
-   Mengucapkan salam penutup
Menjawab pertanyaan
Mendengarkan



Mendengarkan

Mendengarkan

10 menit





VIII.                   Materi  (Terlampir)
1. Pengertian Tifus Abdominalis
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perforasi usus karena satu kali organisme ini memasuki perut pasti timbul Peritonitis yang mengganas, bila ini terjadi progonosisnya sangat jelek. Komplikasi lain ialah pendarahan per anus dan infeksi terlokalisasi (Meningitis, dan lain lain) (Tambayong, 2000). Menurut Ochiai, R Leon (2008) Tifus Abdominalis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmenella Enterica serotipe Typhi (Salmonella Tyhpi).
2. Etiologi Tifus Abdominalis
            Etiologi Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora. Bakteri Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput) (Kunoli, 2013).
          Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi dari genus Salmonella. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk basil atau batang, gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi memiliki ukuran antara 2-4x0,6 µm. Suhu optimum untuk bakteri ini berkembang biak adalah 370C dengan pH antara 6-8. Bakteri Salmonella Typhi ini dapat hidup sampai beberapa minggu di lingkungan seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Reservoir bakteri Salmonella Typhi adalah manusia yang sedang sakit atau karier. Bakteri Salmonella Typhi mati pada pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorisasi.
         
Masa inkubasi Tifus Abdominalis 10-14 hari pada anak, variasi 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang-kadang tidak teratur. Pembiakkan bakteri Salmonella Typhi selama satu malam dalam kaldu, maka akan terjadi kekeruhan menyeluruh tanpa pembentukan selaput. Koloni bakteri Salmonella Typhi tampak besar dengan garis tengah 2-3 mm, bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Kepmenkes RI No. 364, 2006).
3. Patofisiologi Tifus Abdominalis
            Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa kuman/carrier. Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger, Files, Fomites, dan Fluids (Empat F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli, 2013).
4. Gejala Klinik Tifus Abdominalis
            Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom Tifus Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.         Demam
Gejala utama Tifus Abdominalis adalah Demam. Pada awal sakit, demam kebanyakan samar-samar saja, selajutnya suhu tubuh sering turun naik. Demam pada pagi hari lebih rendah dibandingkan sore dan malam (demam intermitten). Intensitas demam dari hari ke hari makin tinggi yang disertai gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila kondisi pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam intermitten pada pasein Tifus Abdominalis tidak selalu ada. Hal ini bias terjadi karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
b.        Gangguan saluran pencernaan
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah, lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), Pada umumnya penderita Tifus Abdominalis sering mengeluh sakit perut, terutama pada regio epigastric (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit,  sering terjadi meteorismus dan konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
c.         Gangguan kesadaran
Pada penderita Tifus Abdominalis umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan. Penderita Tifus Abdominalis tampak apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita Tifus Abdominalis sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita Tifus Abdominalis toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d.        Hepatosplenomegali
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan pembesaran hati dan atau limpa. Organ hati terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan.
e.         Bradikardia relatif dan gejala lain
Pada penderita Tifus Abdominalis bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang paling sering digunakan adalah bahwa setiap peningkatan suhu tubuh 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada Tifus Abdominalis adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epistaksis.
5. Penularan Tifus Abdominalis
            Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan dengan Paratifoid (Kunoli, 2013).
Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan penyakit Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
1.        Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Budaya cuci tangan yang tidak terbiasa tampak jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhman, dkk (2009) tentang faktor–faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid pada orang dewasa di RSUD dr H. Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur diperoleh bahwa faktor resiko kejadian Tifus Abdominalis adalah kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, dimana diketahui bahwa kebiasaan tidak mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, risiko terkena demam tifoid meningkat 2,625 kali lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan pakai sabun.
2.        Higiene makanan dan minuman yang rendah
Higiene makanan dan minuman yang rendah merupakan faktor paling berperan pada penularan Tifus Abdominalis. Banyak sekali contoh untuk ini, diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak dan sebagainya. Menurut Rakhman, dkk (2009) kebiasaan jajan makanan di luar rumah berisiko terkena Tifus Abdominalis  meningkat 1,17 kali lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak pernah jajan makanan di luar penyediaan rumah.
3.        Sanitasi lingkungan kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah variabel lingkungan yang masih eksis yaitu adanya saluran pembuangan limbah dan mempunyai tempat sampah diluar rumah masing-masing Odds Ratio (OR) untuk terkena Tifus Abdominalis adalah 1,180 dan 1,098.
4.        Penyediaan air bersih yang tidak memadai
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa salah satu determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah penyediaan air bersih. Kualitas air yang buruk mempunyai peluang sebesar 1,401 untuk terkena Tifus Abdominalis. 
5.        Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Menurut Rakhman, dkk (2009) keluarga yang tidak mempunyai jamban  mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis 1,1 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jamban.
6.        Pasien atau karier Tifus Abdominalis yang tidak diobati dengan sempurna
Penyakit Tifus Abdominalis, meskipun sudah dinyatakan sembuh, penderita belum dikatakan sembuh total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (bersifat carrier). Penderita dengan jenis kelamin perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Menurut Rakhman, dkk (2009) adanya riwayat Tifus Abdominalis mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 2,244 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang anggota keluarganya tidak mempunyai riwayat Tifus Abdominalis.
7.        Belum membudaya program imunisasi untuk Tifus Abdominalis.
6. Masa Inkubasi
            Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1-10 hari (Kunoli, 2013).
7. Komplikasi Tifus Abdominalis
            Komplikasi Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus Abdominalis yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.         Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati)
b.        Syok Septik
1)        Perdarahan dan Perforasi Intestinal
2)        Peritonitis
3)        Hepatitis Tifosa
4)        Pankreatitis Tifosa
5)        Pneumonia
6)        Komplikasi lain

8. Gambaran Laboratorium Tifus Abdominalis
            Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.         Gambaran darah tepi
b.        Pemeriksaan bakteriologis
1)   Jenis pemeriksaan menurut biakan spesimen yaitu biakan darah, biakan bekuan darah, biakan tinja, biakan cairan empedu, dan biakan air kemih.
2)    Biakan Salmonella Typhi
3)    Serologis Widal
Tes serologi Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip tes serologi Widal adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5. Aglutinin O dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.
Interpretasi hasil Widal :
a)         Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Masing-masing daerah tidak memiliki patokan nilai titer berbeda, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya.
b)        Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis Tifus Abdominalis.
c)         Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis Tifus Abdominalis
d)        Diagnosis Tifus Abdominalis dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan antibodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi buruk, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit Agammaglobulinemia, Leukemia, Karsinoma lanjut, dan lain-lain. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dan lain-lain.
4)   Mencari kuman pembawa Tifus Abdominalis
5)   Pemeriksaan lain : PCR (Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot IEA
9. Pengobatan Tifus Abdominalis
            Pengobatan Tifus Abdominalis dilakukan dengan prinsip triologi penatalaksanaan (Widoyono, 2011)  yaitu :
1.    Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab Tifus Abdominalis. Obat-obatan yang sering digunakan adalah :
a.       Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari
b.      Pemberian Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali
c.       Pemberian Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari
d.      Sefalosporin generasi II dan III (Ciprofloxacin 2x500 mg) selama 6 hari; Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
2.    Istirahat dan perawatan
Istirahat dan perawatan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari Tifus Abdominalis. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidak berdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.
3.    Terapi penunjang
Terapi penunjang dilakukan agar tidak memperberat kerja usus. Pada tahap awal penderita Tifus Abdominalis diberi makanan berupa bubur saring, selanjutnya dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian zat gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan pasien.
2.1.10. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis
1.        Pencegahan
a.       Penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini penting terutama bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.
b.      Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat.
c.       Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (back flow) antara sistem pembuangan kotoron (sewer system) dengan sistem distribusi air.
d.      Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013).
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan Tifus Abdominalis. Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit. Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus Abdominalis mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) :
a.         Penyediaan sumber air minum yang baik
b.        Penyediaan jamban yang sehat
c.         Sosialisasi budaya cuci tangan
d.        Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e.         Pembersihan lalat
f.         Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g.         Sosialisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyusui
h.        Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di Amerika Serikat (kecuali pada kelompok yang beresiko tinggi), imunisasi pencegahan Tifus Abdominalis termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Oleh sebab itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a.       Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel Salmonella Typhi yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.
b.      Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung Salmonella Typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun.
c.       Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intra muscular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relative paling aman.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid dianggap kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carrier. Vaksin oral tifoid bisa juga memberi perlindungan parsial terhadap demam Paratifoid, karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk demam Paratifoid.
2.        Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
a.       Isolasi : pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik ; sebaiknya perawatan dilakukan di rumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel darah yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif.
b.      Desinfeksi serentak : desinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang langsung ke dalam sistem tanpa perlu dilakukan desinfeksi terlebih dahulu.
c.       Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan dan minuman yang terkontaminasi.
d.      Pengobatan spesifik  : meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain antibiotic menentukan jenis obat yang dipakai. Terapi secara umum, untuk orang dewasa Cifrofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan utama penderita Tifus Abdominalis di Asia.
3.        Penanggulangan wabah
a.      Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai sumber penularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan.
b.      Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan
c.      Lakukan pasteurisasi atau rebuslah produk susu yang akan dikonsumsi

d.      Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan pengawasan yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum (Kunoli, 2013).