SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
I. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan ini diharapakan siswa/i dapat memahami tentang tifus abdominalis
II. Tujuan
Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan ini penyuluhan siswa/i dapat memahami tentang :
1.
Pengertian
dan
penyebab
2.
Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3.
Pengobatan dan pencegahan tifus abdominalis
III. Pokok Bahasan dan Sub
Pokok Bahasan
Pokok Bahasan : Tifus abdominalis
Sub
pokok bahasan : 1. Pengertian dan
penyeba tifus abdominalis
2.
Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3.
Pengobatan dan
pencegahan tifus
abdominalis
IV. Sasaran : Siswa/I SMA Negeri 1
Sibolga
V. Waktu dan Tempat Kegiatan
Waktu : 1 X 45 menit
Tempat : Ruangan Kelas
VI.
Metode dan Media
Metode : Ceramah dan diskusi/tanya jawab
Media : Leaflet
VII. Tahapan Pelaksanaan
No
|
Tahapan
|
Kegiatan Penyuluh
|
Kegiatan Peserta
|
Waktu
|
1
|
Pendahuluan
|
Memberi salam
kepada peserta, memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan penyuluhan
|
Mendengarkan
|
5 menit
|
2
|
Kegiatan inti
|
- Menjelaskan pengertian dan penyebab tifus abdominalis
- Memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya
- Memberikan penjelasan tentang pertanyaan peserta
- Menjelaskan tentang tanda dan gejala serta penularan
- Menjelaskan
pengobatan dan pecegahan tifus abdominalsi
|
- Mendengarkan
- Bertanya
- Mendengarkan
- Mendengarkan
- Mendengarkan
|
30 menit
|
3
|
Penutup
|
- Melakukan evaluasi
- Menjelaskan kembali jika ada materi yang kurang
dipahami
- Membuat kesimpulan
- Mengucapkan salam penutup
|
Menjawab
pertanyaan
Mendengarkan
Mendengarkan
Mendengarkan
|
10 menit
|
VIII.
Materi (Terlampir)
1.
Pengertian Tifus Abdominalis
Tifus
abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di
seluruh tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan
terjadinya perforasi usus karena satu kali organisme ini memasuki perut pasti
timbul Peritonitis yang mengganas, bila ini terjadi progonosisnya sangat jelek.
Komplikasi lain ialah pendarahan per anus dan infeksi terlokalisasi
(Meningitis, dan lain lain) (Tambayong, 2000). Menurut Ochiai, R Leon (2008) Tifus
Abdominalis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmenella Enterica
serotipe Typhi (Salmonella Tyhpi).
2.
Etiologi Tifus Abdominalis
Etiologi Tifus
Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah bakteri gram
negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora. Bakteri
Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium,
yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput)
(Kunoli, 2013).
Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi dari
genus Salmonella. Bakteri
Salmonella Typhi berbentuk basil atau batang, gram negatif,
bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria,
bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi memiliki ukuran antara 2-4x0,6
µm. Suhu optimum untuk bakteri
ini berkembang biak adalah 370C dengan pH
antara 6-8. Bakteri Salmonella
Typhi ini dapat hidup sampai beberapa minggu di lingkungan seperti di dalam air,
es, sampah dan debu. Reservoir bakteri Salmonella Typhi adalah manusia yang
sedang sakit atau karier.
Bakteri Salmonella
Typhi mati pada pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorisasi.
Masa inkubasi
Tifus Abdominalis 10-14 hari pada anak, variasi 5-40 hari, dengan perjalanan
penyakit kadang-kadang tidak teratur. Pembiakkan bakteri Salmonella Typhi selama
satu malam dalam kaldu,
maka akan terjadi kekeruhan menyeluruh tanpa
pembentukan selaput. Koloni
bakteri Salmonella Typhi tampak besar dengan garis tengah 2-3 mm, bulat agak
cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Kepmenkes RI No. 364,
2006).
3.
Patofisiologi Tifus Abdominalis
Penularan
penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa
kuman/carrier. Penularan penyakit
Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger,
Files, Fomites, dan Fluids (Empat
F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa
dicuci/dimasak (Kunoli, 2013).
4.
Gejala Klinik Tifus Abdominalis
Kumpulan
gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom Tifus
Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis
diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.
Demam
Gejala utama Tifus
Abdominalis adalah Demam. Pada awal sakit, demam kebanyakan samar-samar saja,
selajutnya suhu tubuh sering turun naik. Demam pada pagi hari lebih rendah
dibandingkan sore dan malam (demam intermitten). Intensitas demam dari hari ke
hari makin tinggi yang disertai gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang
sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual
dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus
menerus (demam kontinyu). Bila kondisi pasien membaik maka pada minggu ke 3
suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.
Demam intermitten pada pasein Tifus Abdominalis tidak selalu ada. Hal ini bias
terjadi karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih
awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
b.
Gangguan saluran
pencernaan
Pada penderita Tifus
Abdominalis sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama,
bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah, lidah kelihatan kotor dan ditutupi
selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), Pada umumnya penderita Tifus
Abdominalis sering mengeluh sakit perut, terutama pada regio epigastric (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada
awal sakit, sering terjadi meteorismus
dan konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
c.
Gangguan kesadaran
Pada penderita Tifus
Abdominalis umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran
ringan. Penderita Tifus Abdominalis tampak apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita Tifus Abdominalis
sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita
Tifus Abdominalis toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d.
Hepatosplenomegali
Pada penderita Tifus
Abdominalis sering ditemukan pembesaran hati dan atau limpa. Organ hati terasa
kenyal dan terdapat nyeri tekan.
e.
Bradikardia relatif dan
gejala lain
Pada penderita Tifus
Abdominalis bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu
tubuh yang tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang paling
sering digunakan adalah bahwa setiap peningkatan suhu tubuh 10C
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala
lain yang dapat ditemukan pada Tifus Abdominalis adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan
dengan komplikasi. Rose spot pada
anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epistaksis.
5.
Penularan Tifus Abdominalis
Penularan
penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi
kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran
mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang
terkontaminasi oleh carrier atau
penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai
perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam
makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis
infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan
dengan Paratifoid (Kunoli, 2013).
Bakteri
Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman.
Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen feses
atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. Beberapa kondisi kehidupan manusia
yang sangat berperan pada penularan penyakit Tifus Abdominalis adalah
(Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
1.
Higiene perorangan yang
rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Budaya cuci tangan yang
tidak terbiasa tampak jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhman, dkk (2009) tentang faktor–faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid pada orang dewasa di
RSUD dr H. Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur
diperoleh bahwa faktor resiko kejadian Tifus Abdominalis adalah kebiasaan
mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, dimana diketahui bahwa kebiasaan
tidak mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, risiko terkena demam tifoid
meningkat 2,625 kali lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang
mempunyai kebiasaan mencuci tangan pakai sabun.
2.
Higiene makanan dan
minuman yang rendah
Higiene makanan dan
minuman yang rendah merupakan faktor paling berperan pada penularan Tifus
Abdominalis. Banyak sekali contoh untuk ini, diantaranya : makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran
yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah,
dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak dan sebagainya. Menurut Rakhman,
dkk (2009) kebiasaan jajan makanan di luar rumah berisiko terkena Tifus
Abdominalis meningkat 1,17 kali lebih
besar dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak pernah jajan makanan di luar
penyediaan rumah.
3.
Sanitasi lingkungan
kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang tidak memenuhi
syarat kesehatan
Penelitian yang
dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa determinan kejadian
Tifus Abdominalis di Indonesia adalah variabel lingkungan yang masih eksis
yaitu adanya saluran pembuangan limbah dan mempunyai tempat sampah diluar rumah
masing-masing Odds Ratio (OR) untuk terkena Tifus Abdominalis adalah 1,180 dan
1,098.
4.
Penyediaan air bersih yang tidak memadai
Penelitian yang
dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa salah satu determinan
kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah penyediaan air bersih. Kualitas
air yang buruk mempunyai peluang sebesar 1,401 untuk terkena Tifus
Abdominalis.
5.
Jamban keluarga yang
tidak memenuhi syarat
Menurut Rakhman, dkk
(2009) keluarga
yang tidak mempunyai jamban mempunyai
risiko terkena Tifus Abdominalis 1,1 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jamban.
6.
Pasien atau karier
Tifus Abdominalis yang tidak diobati dengan sempurna
Penyakit Tifus
Abdominalis, meskipun sudah dinyatakan sembuh, penderita belum dikatakan sembuh
total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain
(bersifat carrier). Penderita dengan
jenis kelamin perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar
dibandingkan laki-laki. Menurut Rakhman, dkk (2009) adanya riwayat Tifus
Abdominalis mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 2,244 kali
lebih besar dibandingkan dengan orang yang anggota keluarganya tidak mempunyai
riwayat Tifus Abdominalis.
7.
Belum membudaya program
imunisasi untuk Tifus Abdominalis.
6.
Masa Inkubasi
Masa inkubasi
tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa inkubasi
berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk
Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara
1-10 hari (Kunoli, 2013).
7.
Komplikasi Tifus Abdominalis
Komplikasi
Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari
komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus
Abdominalis yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.
Tifoid Toksik (Tifoid
Enselofapati)
b.
Syok Septik
1)
Perdarahan dan
Perforasi Intestinal
2)
Peritonitis
3)
Hepatitis Tifosa
4)
Pankreatitis Tifosa
5)
Pneumonia
6)
Komplikasi lain
8. Gambaran
Laboratorium Tifus Abdominalis
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien
Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364,
2006) :
a.
Gambaran darah tepi
b.
Pemeriksaan
bakteriologis
1)
Jenis pemeriksaan
menurut biakan spesimen yaitu biakan darah, biakan bekuan darah, biakan tinja,
biakan cairan empedu, dan biakan air kemih.
2)
Biakan Salmonella Typhi
3)
Serologis Widal
Tes
serologi Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah
dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen
basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca
vaksinasi). Prinsip tes serologi Widal adalah terjadinya reaksi aglutinasi
antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O dan H.
Aglutinin
O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu
ke 3 sampai ke 5. Aglutinin O dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin
H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih
lama, sampai 2 tahun kemudian.
Interpretasi
hasil Widal :
a)
Belum ada kesepakatan
tentang nilai titer patokan. Masing-masing daerah tidak memiliki patokan nilai
titer berbeda, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil
penelitiannya.
b)
Batas titer yang
dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu
daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis Tifus Abdominalis.
c)
Reaksi Widal negatif
tidak menyingkirkan diagnosis Tifus Abdominalis
d)
Diagnosis Tifus Abdominalis
dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat
pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi reaksi Widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru
baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil negatif palsu seperti pada keadaan
pembentukan antibodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi
buruk, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit Agammaglobulinemia, Leukemia,
Karsinoma lanjut, dan lain-lain. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada
keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu,
aglutinasi silang, dan lain-lain.
4)
Mencari kuman pembawa
Tifus Abdominalis
5)
Pemeriksaan lain : PCR
(Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot IEA
9.
Pengobatan Tifus Abdominalis
Pengobatan Tifus Abdominalis dilakukan
dengan prinsip triologi penatalaksanaan (Widoyono, 2011) yaitu :
1. Pemberian
antibiotik
Pemberian
antibiotik dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab Tifus Abdominalis. Obat-obatan
yang sering digunakan adalah :
a.
Kloramfenikol 100 mg/kg
berat badan/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari
b.
Pemberian Amoksilin 100
mg/kg berat badan/hari/4 kali
c.
Pemberian Kotrimoksazol
480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari
d.
Sefalosporin generasi
II dan III (Ciprofloxacin 2x500 mg) selama 6 hari; Ofloxacin 600 mg/hari selama
7 hari; Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
2. Istirahat
dan perawatan
Istirahat dan
perawatan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya
beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari Tifus
Abdominalis. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan
penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan
perlu dijaga karena ketidak berdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.
3. Terapi
penunjang
Terapi penunjang
dilakukan agar tidak memperberat kerja usus. Pada tahap awal penderita Tifus Abdominalis diberi makanan
berupa bubur saring, selanjutnya dapat diberi makanan yang lebih padat dan
akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian zat gizi
dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan pasien.
2.1.10.
Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis
1.
Pencegahan
a.
Penyuluhan kepada
masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan
sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan
secukupnya. Hal ini penting terutama bagi mereka yang pekerjaannya sebagai
penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan
mengasuh anak-anak.
b.
Pembuangan kotoran pada
jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat.
c.
Sumber air perlu
dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian
klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air
yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya
pencemaran (back flow) antara sistem
pembuangan kotoron (sewer system)
dengan sistem distribusi air.
d.
Pemberantasan lalat
dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem pengumpulan dan
pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013).
Kebersihan
makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan Tifus Abdominalis. Merebus
air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi
lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah
penyakit. Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus Abdominalis mencakup
hal-hal berikut (Widoyono, 2011) :
a.
Penyediaan sumber air
minum yang baik
b.
Penyediaan jamban yang
sehat
c.
Sosialisasi budaya cuci
tangan
d.
Sosialisasi budaya
merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e.
Pembersihan lalat
f.
Pengawasan kepada para
penjual makanan dan minuman
g.
Sosialisasi pemberian
Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyusui
h.
Imunisasi
Walaupun imunisasi
tidak dianjurkan di Amerika Serikat (kecuali pada kelompok yang beresiko
tinggi), imunisasi pencegahan Tifus Abdominalis termasuk dalam program
pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini
masih belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah.
Oleh sebab itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya.
Jenis vaksinasi
yang tersedia adalah :
a.
Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel
Salmonella Typhi yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar
kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25
cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena
efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah
tidak beredar lagi.
b.
Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral
yang mengandung Salmonella Typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada usia
minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut
laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun.
c.
Vaksin parenteral
polisakarida
Vaksin ini berasal dari
polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral
dengan dosis tunggal 0,5 cc intra
muscular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3
tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama
karena relative paling aman.
Imunisasi rutin
dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita seperti anggota
keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid dianggap kurang
bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carrier. Vaksin oral tifoid bisa juga
memberi perlindungan parsial terhadap demam Paratifoid, karena sampai saat ini
belum ditemukan vaksin yang efektif untuk demam Paratifoid.
2.
Pengawasan penderita,
kontak dan lingkungan sekitarnya
a.
Isolasi : pada waktu
sakit, lakukan kewaspadaan enterik ; sebaiknya perawatan dilakukan di rumah
sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel
darah yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam
setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif.
b.
Desinfeksi serentak :
desinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di
negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat
dibuang langsung ke dalam sistem tanpa perlu dilakukan desinfeksi terlebih
dahulu.
c.
Lakukan investigasi
terhadap kontak dan sumber infeksi : sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber
infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan
penderita yang tidak dilaporkan, carrier
dan melacak makanan dan minuman yang terkontaminasi.
d.
Pengobatan
spesifik : meningkatnya resistensi
terhadap berbagai macam strain antibiotic menentukan jenis obat yang dipakai.
Terapi secara umum, untuk orang dewasa Cifrofloxacin oral dianggap sebagai obat
pilihan utama penderita Tifus Abdominalis di Asia.
3.
Penanggulangan wabah
a.
Lakukan pelacakan
secara intensif terhadap penderita dan carrier
yang berperan sebagai sumber penularan. Cari dan temukan media (air, makanan)
yang tercemar yang menjadi sumber penularan.
b.
Lakukan pemusnahan
terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan
c.
Lakukan pasteurisasi
atau rebuslah produk susu yang akan dikonsumsi
d.
Terhadap sumber air
yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan pengawasan
yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber
yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus
diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum (Kunoli, 2013).