Materi SKB CPNS : Advokasi dilengkapi contoh soalnya.
Penulis : Manotar Sinaga M.Kes
Advokasi merupakan salah materi SKB pada ujian CPNS pada tahun 2024. Berikut adalah formasi jabatan yang mencantumkan materi sebagai materi ujian nya
1. Epidemiolog Kesehatan Ahli Pertama : Advokasi
2. Fasilitator Rehabilitasi : Advokasi
3. Petugas Lapangan KB Terampil: Advokasi dan komunikasi interpersonal
4. Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Ahli Pertama: Advokasi Kesehatan
5. Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Terampil : Advokasi Kesehatan
Dari informasi diatas kita ketahui bahwa materi advokasi ini dikhususkan untuk tenaga kesehatan. maka dari itu fokus materi kita adalah advokasi di bidang kesehatan. Untuk lebih mendalami materi Advokasi Kesehatan dan contoh soal SKB CPNS terkait materi ini mari kita simak penjelasan berikut ini. Selamat belajar.
🩺 KONSEP MATERI: Advokasi Kesehatan
1. Pengertian dan Hakikat Advokasi Kesehatan
Advokasi kesehatan merupakan salah satu strategi utama dalam promosi kesehatan yang berfokus pada upaya untuk mempengaruhi pembuat kebijakan, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, agar memberikan dukungan politik, sosial, dan sumber daya terhadap program kesehatan.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), advokasi adalah suatu proses komunikasi yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan untuk memperoleh komitmen, dukungan kebijakan, serta alokasi sumber daya dalam pelaksanaan program kesehatan.
Sementara itu, World Health Organization (WHO, 1998) mendefinisikan advokasi kesehatan sebagai kombinasi dari tindakan individu dan sosial yang dirancang untuk mendapatkan komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem bagi suatu tujuan atau program kesehatan tertentu.
Dengan demikian, hakikat advokasi kesehatan bukan sekadar kegiatan sosialisasi atau penyuluhan, melainkan tindakan strategis dan diplomatis yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan sistem agar berpihak pada kesehatan masyarakat.
2. Landasan Filosofis dan Yuridis Advokasi Kesehatan
Advokasi kesehatan memiliki dasar yang kuat dalam peraturan perundangan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Pasal 170 sampai Pasal 171, menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga diperlukan upaya kemitraan dan advokasi lintas sektor.
Permenkes Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan menegaskan bahwa advokasi merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang dilakukan untuk memperoleh dukungan kebijakan dan sumber daya.
Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas menjelaskan bahwa advokasi menjadi bagian integral dari kegiatan manajemen Puskesmas dalam menjalin kemitraan dengan lintas sektor untuk mendukung keberhasilan program.
Dalam konteks perencanaan pembangunan nasional, RPJMN 2020–2024 menempatkan advokasi kesehatan sebagai salah satu strategi untuk memperkuat governance dan tata kelola sistem kesehatan melalui kemitraan lintas sektor.
Landasan ini menunjukkan bahwa advokasi kesehatan bukan kegiatan opsional, tetapi merupakan komponen esensial dari sistem kesehatan masyarakat yang berbasis kolaborasi, kebijakan, dan komitmen sosial.
3. Tujuan Advokasi Kesehatan
Tujuan utama advokasi kesehatan adalah untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik agar berpihak pada kesehatan masyarakat. Secara lebih spesifik, tujuan tersebut meliputi:
1. Meningkatkan komitmen politik dan dukungan kebijakan terhadap isu-isu kesehatan prioritas, seperti gizi masyarakat, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, dan pengendalian penyakit.
2. Mendorong pembentukan atau revisi kebijakan publik yang mendukung program kesehatan di tingkat lokal maupun nasional.
3. Menggalang dukungan sosial dan moral dari pemimpin masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, dan organisasi sosial.
4. Menggerakkan sumber daya manusia, finansial, dan material agar dapat digunakan untuk mendukung kegiatan kesehatan.
5. Membangun kesadaran dan kepedulian di kalangan pengambil keputusan terhadap pentingnya kesehatan sebagai investasi pembangunan manusia.
6. Menjamin keberlanjutan program kesehatan melalui dukungan lintas sektor dan legitimasi kebijakan publik.
Dengan kata lain, advokasi kesehatan merupakan instrumen strategis untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan kesehatan masyarakat dengan keputusan politik dan kebijakan publik.
4. Prinsip-Prinsip Advokasi Kesehatan
Advokasi kesehatan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1. Berbasis bukti ilmiah (evidence-based). Segala bentuk advokasi harus didukung oleh data dan analisis yang valid, seperti hasil survei kesehatan, studi epidemiologis, atau data program.
2. Etis dan transparan. Pendekatan yang digunakan harus jujur, menghormati nilai-nilai sosial, serta tidak manipulatif.
3. Persuasif dan non-konfrontatif. Tujuan advokasi dicapai melalui komunikasi yang meyakinkan dan membangun kemitraan, bukan melalui tekanan.
4. Berkesinambungan. Advokasi bukan kegiatan sekali jalan, melainkan proses berkelanjutan yang memerlukan evaluasi dan penyesuaian strategi.
5. Kolaboratif dan partisipatif. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, media, dan tokoh masyarakat.
6. Berorientasi pada kepentingan publik. Segala upaya advokasi harus bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
5. Langkah-Langkah Implementasi Advokasi Kesehatan
Implementasi advokasi kesehatan mencakup tahapan-tahapan sistematis yang terencana, yaitu:
a. Identifikasi Isu dan Masalah Kesehatan.
Tahap awal adalah mengenali isu kesehatan prioritas yang membutuhkan perhatian kebijakan. Misalnya meningkatnya kasus stunting, rendahnya cakupan imunisasi, atau belum adanya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
b. Analisis Kebijakan dan Pemangku Kepentingan.
Analisis ini mencakup pemetaan terhadap peraturan yang ada, kesenjangan kebijakan, dan identifikasi siapa saja pihak yang memiliki kewenangan atau pengaruh terhadap isu tersebut (misalnya: kepala daerah, DPRD, tokoh masyarakat, organisasi profesi, atau lembaga swadaya masyarakat).
c. Penentuan Tujuan dan Sasaran Advokasi.
Tujuan harus spesifik, terukur, realistis, dan relevan dengan masalah yang dihadapi. Misalnya, memperoleh dukungan dana dari APBD untuk program gizi balita atau mendorong penerapan Peraturan Desa tentang sanitasi total berbasis masyarakat.
d. Penyusunan Strategi dan Rencana Advokasi.
Strategi dapat meliputi penyusunan policy brief, pertemuan dengan pejabat daerah, kegiatan media, atau pembentukan koalisi pendukung. Pesan advokasi harus singkat, jelas, dan berbasis data.
e. Pelaksanaan Advokasi.
Pada tahap ini dilakukan kegiatan nyata seperti audiensi, seminar, lokakarya, kampanye media, atau dialog lintas sektor. Pelaksanaan harus disesuaikan dengan konteks sosial dan politik setempat.
f. Monitoring dan Evaluasi.
Tahap terakhir adalah menilai sejauh mana tujuan advokasi tercapai, seperti perubahan kebijakan, meningkatnya dukungan politik, atau bertambahnya alokasi sumber daya. Evaluasi juga mencakup pembelajaran untuk memperbaiki strategi advokasi di masa mendatang.
6. Peran Tenaga Kesehatan dalam Implementasi Advokasi
Tenaga kesehatan memiliki posisi strategis dalam proses advokasi karena mereka adalah sumber utama data, informasi, dan pengalaman empiris di lapangan. Beberapa peran penting tenaga kesehatan antara lain:
1. Sebagai pengumpul dan penyedia data. Tenaga kesehatan harus mampu mengumpulkan data yang akurat untuk memperkuat argumentasi dalam advokasi.
2. Sebagai komunikator dan fasilitator. Tenaga kesehatan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pengambil keputusan melalui komunikasi efektif dan penyampaian pesan berbasis bukti.
3. Sebagai pelaksana kebijakan. Setelah kebijakan disetujui, tenaga kesehatan turut memastikan implementasinya berjalan sesuai standar dan sasaran.
4. Sebagai penggerak masyarakat. Melalui kegiatan bina suasana dan pemberdayaan, tenaga kesehatan memperkuat dukungan sosial terhadap program yang telah diadvokasikan.
5. Sebagai evaluator. Tenaga kesehatan berperan dalam memantau dampak kebijakan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Dengan peran tersebut, tenaga kesehatan bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga aktor kebijakan dan agen perubahan sosial yang aktif memperjuangkan kesehatan masyarakat.
7. Contoh Implementasi Nyata Advokasi Kesehatan di Lapangan
Pertama, advokasi untuk program gizi anak. Misalnya, tenaga gizi Puskesmas mengidentifikasi meningkatnya angka stunting di wilayahnya. Ia kemudian menyusun data dan melakukan pertemuan dengan kepala desa dan DPRD untuk mengalokasikan dana desa bagi pemberian makanan tambahan. Hasilnya, dukungan politik dan pendanaan meningkat sehingga program berjalan lebih efektif.
Kedua, advokasi untuk penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Petugas kesehatan menginisiasi pertemuan dengan bupati, tokoh agama, dan pemilik tempat umum untuk menetapkan kebijakan daerah tentang KTR. Advokasi ini menghasilkan perubahan perilaku sosial dan lingkungan yang lebih sehat.
Ketiga, advokasi vaksinasi. Dalam masa pandemi COVID-19, tenaga kesehatan mendekati tokoh masyarakat dan pemuka agama agar mendukung program vaksinasi. Melalui pendekatan berbasis kepercayaan dan komunikasi persuasif, tingkat penerimaan masyarakat terhadap vaksin meningkat signifikan.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa advokasi kesehatan dapat dilakukan pada berbagai level: individu, komunitas, maupun institusional, dengan tujuan akhir yaitu terwujudnya kebijakan dan sistem yang berpihak pada kesehatan masyarakat.
8. Keterkaitan Advokasi dengan Pemberdayaan dan Promosi Kesehatan
Advokasi merupakan salah satu komponen utama dari promosi kesehatan, bersama dengan bina suasana dan pemberdayaan masyarakat.
Advokasi berorientasi pada pengambil keputusan.
Bina suasana berorientasi pada penciptaan opini publik yang positif terhadap isu kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat berorientasi pada penguatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan kesehatan.
Ketiga strategi tersebut saling melengkapi dalam kerangka kerja promosi kesehatan nasional sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 8 Tahun 2019.
9. Nilai Strategis Advokasi dalam Sistem Kesehatan Nasional
Advokasi memiliki nilai strategis dalam mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Melalui advokasi, pemerintah daerah dan lembaga lintas sektor dapat menyadari bahwa kesehatan adalah investasi sosial dan ekonomi yang harus diprioritaskan. Advokasi juga memperkuat akuntabilitas publik, transparansi pengambilan keputusan, serta partisipasi masyarakat dalam perencanaan kesehatan.
Dengan demikian, advokasi kesehatan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga merupakan instrumen politik dan sosial untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan berpihak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Soal SKB CPNS materi "Advokasi"
1. Di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Sari, angka stunting pada balita masih tinggi meskipun kegiatan posyandu sudah rutin dilakukan. Petugas gizi menemukan bahwa tidak ada anggaran tambahan dari pemerintah desa untuk mendukung program makanan tambahan bagi balita. Ia kemudian mengumpulkan data, membuat ringkasan hasil pemantauan status gizi, dan mempresentasikannya kepada kepala desa dan ketua PKK agar dana desa dapat dialokasikan untuk program gizi.
Apa bentuk tindakan yang dilakukan oleh petugas gizi tersebut?
A. Edukasi kesehatan kepada masyarakat
B. Bina suasana dalam promosi kesehatan
C. Advokasi kesehatan kepada pengambil kebijakan
D. Sosialisasi program gizi masyarakat
E. Monitoring program posyandu
Pembahasan:
Tindakan yang dilakukan petugas gizi adalah advokasi, karena ia berusaha mempengaruhi pengambil keputusan (kepala desa dan ketua PKK) agar mendukung program kesehatan melalui kebijakan dan pendanaan. Advokasi ditandai dengan pendekatan berbasis bukti (data status gizi), komunikasi strategis, dan tujuan memperoleh komitmen politik atau dukungan sumber daya.
Edukasi dan sosialisasi hanya berfokus pada perubahan pengetahuan masyarakat, bukan kebijakan.
Monitoring dilakukan setelah program berjalan, bukan pada tahap memperoleh dukungan.
Kunci Jawaban: C
Referensi:
Kemenkes RI. (2012). Petunjuk Teknis Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan.
2. Di salah satu desa, banyak orang tua menolak imunisasi karena percaya pada informasi yang salah tentang efek samping vaksin. Kepala Puskesmas kemudian mengundang tokoh agama, tokoh adat, dan perwakilan masyarakat untuk berdialog, serta meminta dukungan mereka agar masyarakat bersedia membawa anaknya ke posyandu.
Upaya yang dilakukan kepala Puskesmas tersebut merupakan bentuk:
A. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kader
B. Advokasi kesehatan kepada tokoh berpengaruh
C. Edukasi kesehatan kepada masyarakat umum
D. Pengawasan pelaksanaan imunisasi
E. Sosialisasi program vaksinasi
Pembahasan:
Pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh adat merupakan advokasi, karena sasaran utamanya adalah pemimpin berpengaruh yang dapat memengaruhi opini dan perilaku masyarakat. Advokasi bertujuan memperoleh dukungan moral dan sosial dari tokoh kunci agar masyarakat mau menerima program kesehatan.
Jika kegiatan dilakukan langsung kepada masyarakat umum, maka itu termasuk edukasi.
Kunci Jawaban: B
Referensi:
WHO. (1998). Health Promotion Glossary. Geneva: World Health Organization.
3. Seorang sanitarian melakukan kajian mengenai tingginya jumlah perokok di fasilitas umum di wilayahnya. Ia menyusun laporan dan mengajukan pertemuan dengan DPRD Kabupaten untuk membahas pentingnya penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Tindakan sanitarian tersebut merupakan implementasi dari:
A. Bina suasana untuk meningkatkan kesadaran publik
B. Advokasi kebijakan kesehatan di tingkat daerah
C. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang lingkungan
D. Kampanye publik tentang bahaya merokok
E. Evaluasi kebijakan daerah tentang KTR
Pembahasan:
Sanitarian tersebut melakukan advokasi kebijakan, karena ia melakukan pendekatan berbasis data kepada pengambil keputusan politik (DPRD) untuk mendorong penerapan Perda. Tujuan advokasi dalam hal ini adalah agar kebijakan publik berpihak pada kesehatan masyarakat melalui regulasi yang melindungi dari bahaya rokok.
Bina suasana atau kampanye publik lebih ditujukan kepada masyarakat luas, sedangkan advokasi menargetkan pengambil keputusan atau pihak berwenang.
Kunci Jawaban: B
Referensi:
Kemenkes RI. (2019). Permenkes Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.
4. Di daerah pesisir, angka diare meningkat akibat buruknya sanitasi. Petugas kesehatan lingkungan melakukan survei sanitasi, menyusun laporan, dan mempresentasikannya kepada camat serta kepala desa dengan tujuan agar pembangunan sarana jamban keluarga dimasukkan dalam prioritas Dana Desa tahun berikutnya.
Apa tujuan utama dari kegiatan petugas tersebut?
A. Mengubah perilaku masyarakat agar buang air besar di jamban
B. Menggerakkan masyarakat untuk gotong royong membuat jamban
C. Memperoleh dukungan kebijakan dan anggaran pembangunan sanitasi
D. Melakukan edukasi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
E. Melakukan penelitian tentang penyebab diare di daerah pesisir
Pembahasan:
Tujuan utama advokasi adalah mendapatkan dukungan kebijakan dan alokasi sumber daya. Dalam kasus ini, petugas mengajukan data dan hasil survei kepada pengambil keputusan agar pembangunan sarana sanitasi dimasukkan ke dalam rencana anggaran. Hal ini bukan edukasi atau pemberdayaan masyarakat, melainkan tindakan strategis untuk memperoleh dukungan politik dan finansial.
Kunci Jawaban: C
Referensi:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 170–171.
5. Seorang bidan koordinator di Puskesmas menemukan bahwa banyak ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan. Ia kemudian membuat laporan kasus, menyusun rekomendasi, dan mengusulkan kepada kepala daerah agar menambah satu pos pelayanan terpadu (poskesdes) di wilayah terpencil tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, peran bidan yang paling tepat adalah:
A. Melaksanakan kegiatan edukasi kesehatan kepada ibu hamil
B. Menjadi pelaksana pelayanan antenatal di masyarakat
C. Melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan untuk peningkatan akses layanan KIA
D. Melakukan supervisi terhadap petugas posyandu
E. Menyelenggarakan pelatihan kader untuk pemeriksaan kehamilan
Pembahasan:
Bidan dalam kasus tersebut berperan sebagai advokat kesehatan, yaitu mengumpulkan bukti lapangan dan mengajukan rekomendasi kepada pengambil keputusan (kepala daerah) untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan ibu dan anak. Tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan kebijakan dan sumber daya agar akses pelayanan kesehatan meningkat. Ini mencerminkan implementasi nyata advokasi di bidang KIA.
Kunci Jawaban: C
Referensi:
Kemenkes RI. (2016). Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas.
📚 DAFTAR REFERENSI
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Petunjuk Teknis Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. World Health Organization. (1998). Health Promotion Glossary. Geneva: WHO.
6. Green, L. W., & Kreuter, M. W. (2005). Health Promotion Planning: An Educational and Ecological Approach. New York: McGraw-Hill.
7. Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta.
8. Nutbeam, D. (2000). Health literacy as a public health goal: A challenge for contemporary health education and communication strategies into the 21st century. Health Promotion International, 15(3), 259–267.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar