Minggu, 26 Oktober 2025

Materi SKB CPNS : Advokasi dilengkapi contoh soalnya

Materi SKB CPNS : Advokasi dilengkapi contoh soalnya.

Penulis : Manotar Sinaga M.Kes


Advokasi merupakan salah materi SKB pada ujian CPNS pada tahun 2024. Berikut adalah formasi jabatan yang mencantumkan materi  sebagai materi ujian nya

1. Epidemiolog Kesehatan Ahli Pertama : Advokasi

2. Fasilitator Rehabilitasi : Advokasi

3. Petugas Lapangan KB Terampil: Advokasi dan komunikasi interpersonal

4. Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Ahli Pertama: Advokasi Kesehatan 

5. Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Terampil : Advokasi Kesehatan 



Dari informasi diatas kita ketahui bahwa materi advokasi ini dikhususkan untuk tenaga kesehatan. maka dari itu fokus materi kita adalah advokasi di bidang kesehatan. Untuk lebih mendalami materi Advokasi Kesehatan dan contoh soal SKB CPNS terkait materi ini mari kita simak penjelasan berikut ini. Selamat belajar. 


🩺 KONSEP MATERI: Advokasi Kesehatan 

1. Pengertian dan Hakikat Advokasi Kesehatan

Advokasi kesehatan merupakan salah satu strategi utama dalam promosi kesehatan yang berfokus pada upaya untuk mempengaruhi pembuat kebijakan, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, agar memberikan dukungan politik, sosial, dan sumber daya terhadap program kesehatan.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), advokasi adalah suatu proses komunikasi yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan untuk memperoleh komitmen, dukungan kebijakan, serta alokasi sumber daya dalam pelaksanaan program kesehatan.

Sementara itu, World Health Organization (WHO, 1998) mendefinisikan advokasi kesehatan sebagai kombinasi dari tindakan individu dan sosial yang dirancang untuk mendapatkan komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem bagi suatu tujuan atau program kesehatan tertentu.

Dengan demikian, hakikat advokasi kesehatan bukan sekadar kegiatan sosialisasi atau penyuluhan, melainkan tindakan strategis dan diplomatis yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan sistem agar berpihak pada kesehatan masyarakat.



2. Landasan Filosofis dan Yuridis Advokasi Kesehatan

Advokasi kesehatan memiliki dasar yang kuat dalam peraturan perundangan di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Pasal 170 sampai Pasal 171, menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga diperlukan upaya kemitraan dan advokasi lintas sektor.

Permenkes Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan menegaskan bahwa advokasi merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang dilakukan untuk memperoleh dukungan kebijakan dan sumber daya.

Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas menjelaskan bahwa advokasi menjadi bagian integral dari kegiatan manajemen Puskesmas dalam menjalin kemitraan dengan lintas sektor untuk mendukung keberhasilan program.

Dalam konteks perencanaan pembangunan nasional, RPJMN 2020–2024 menempatkan advokasi kesehatan sebagai salah satu strategi untuk memperkuat governance dan tata kelola sistem kesehatan melalui kemitraan lintas sektor.

Landasan ini menunjukkan bahwa advokasi kesehatan bukan kegiatan opsional, tetapi merupakan komponen esensial dari sistem kesehatan masyarakat yang berbasis kolaborasi, kebijakan, dan komitmen sosial.



3. Tujuan Advokasi Kesehatan

Tujuan utama advokasi kesehatan adalah untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik agar berpihak pada kesehatan masyarakat. Secara lebih spesifik, tujuan tersebut meliputi:

1. Meningkatkan komitmen politik dan dukungan kebijakan terhadap isu-isu kesehatan prioritas, seperti gizi masyarakat, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, dan pengendalian penyakit.

2. Mendorong pembentukan atau revisi kebijakan publik yang mendukung program kesehatan di tingkat lokal maupun nasional.

3. Menggalang dukungan sosial dan moral dari pemimpin masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, dan organisasi sosial.

4. Menggerakkan sumber daya manusia, finansial, dan material agar dapat digunakan untuk mendukung kegiatan kesehatan.

5. Membangun kesadaran dan kepedulian di kalangan pengambil keputusan terhadap pentingnya kesehatan sebagai investasi pembangunan manusia.

6. Menjamin keberlanjutan program kesehatan melalui dukungan lintas sektor dan legitimasi kebijakan publik.

Dengan kata lain, advokasi kesehatan merupakan instrumen strategis untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan kesehatan masyarakat dengan keputusan politik dan kebijakan publik.



4. Prinsip-Prinsip Advokasi Kesehatan

Advokasi kesehatan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

1. Berbasis bukti ilmiah (evidence-based). Segala bentuk advokasi harus didukung oleh data dan analisis yang valid, seperti hasil survei kesehatan, studi epidemiologis, atau data program.

2. Etis dan transparan. Pendekatan yang digunakan harus jujur, menghormati nilai-nilai sosial, serta tidak manipulatif.

3. Persuasif dan non-konfrontatif. Tujuan advokasi dicapai melalui komunikasi yang meyakinkan dan membangun kemitraan, bukan melalui tekanan.

4. Berkesinambungan. Advokasi bukan kegiatan sekali jalan, melainkan proses berkelanjutan yang memerlukan evaluasi dan penyesuaian strategi.

5. Kolaboratif dan partisipatif. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, media, dan tokoh masyarakat.

6. Berorientasi pada kepentingan publik. Segala upaya advokasi harus bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.


5. Langkah-Langkah Implementasi Advokasi Kesehatan

Implementasi advokasi kesehatan mencakup tahapan-tahapan sistematis yang terencana, yaitu:

a. Identifikasi Isu dan Masalah Kesehatan.

Tahap awal adalah mengenali isu kesehatan prioritas yang membutuhkan perhatian kebijakan. Misalnya meningkatnya kasus stunting, rendahnya cakupan imunisasi, atau belum adanya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

b. Analisis Kebijakan dan Pemangku Kepentingan.

Analisis ini mencakup pemetaan terhadap peraturan yang ada, kesenjangan kebijakan, dan identifikasi siapa saja pihak yang memiliki kewenangan atau pengaruh terhadap isu tersebut (misalnya: kepala daerah, DPRD, tokoh masyarakat, organisasi profesi, atau lembaga swadaya masyarakat).

c. Penentuan Tujuan dan Sasaran Advokasi.

Tujuan harus spesifik, terukur, realistis, dan relevan dengan masalah yang dihadapi. Misalnya, memperoleh dukungan dana dari APBD untuk program gizi balita atau mendorong penerapan Peraturan Desa tentang sanitasi total berbasis masyarakat.

d. Penyusunan Strategi dan Rencana Advokasi.

Strategi dapat meliputi penyusunan policy brief, pertemuan dengan pejabat daerah, kegiatan media, atau pembentukan koalisi pendukung. Pesan advokasi harus singkat, jelas, dan berbasis data.

e. Pelaksanaan Advokasi.

Pada tahap ini dilakukan kegiatan nyata seperti audiensi, seminar, lokakarya, kampanye media, atau dialog lintas sektor. Pelaksanaan harus disesuaikan dengan konteks sosial dan politik setempat.

f. Monitoring dan Evaluasi.

Tahap terakhir adalah menilai sejauh mana tujuan advokasi tercapai, seperti perubahan kebijakan, meningkatnya dukungan politik, atau bertambahnya alokasi sumber daya. Evaluasi juga mencakup pembelajaran untuk memperbaiki strategi advokasi di masa mendatang.



6. Peran Tenaga Kesehatan dalam Implementasi Advokasi

Tenaga kesehatan memiliki posisi strategis dalam proses advokasi karena mereka adalah sumber utama data, informasi, dan pengalaman empiris di lapangan. Beberapa peran penting tenaga kesehatan antara lain:

1. Sebagai pengumpul dan penyedia data. Tenaga kesehatan harus mampu mengumpulkan data yang akurat untuk memperkuat argumentasi dalam advokasi.

2. Sebagai komunikator dan fasilitator. Tenaga kesehatan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pengambil keputusan melalui komunikasi efektif dan penyampaian pesan berbasis bukti.

3. Sebagai pelaksana kebijakan. Setelah kebijakan disetujui, tenaga kesehatan turut memastikan implementasinya berjalan sesuai standar dan sasaran.

4. Sebagai penggerak masyarakat. Melalui kegiatan bina suasana dan pemberdayaan, tenaga kesehatan memperkuat dukungan sosial terhadap program yang telah diadvokasikan.

5. Sebagai evaluator. Tenaga kesehatan berperan dalam memantau dampak kebijakan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Dengan peran tersebut, tenaga kesehatan bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga aktor kebijakan dan agen perubahan sosial yang aktif memperjuangkan kesehatan masyarakat.


7. Contoh Implementasi Nyata Advokasi Kesehatan di Lapangan

Pertama, advokasi untuk program gizi anak. Misalnya, tenaga gizi Puskesmas mengidentifikasi meningkatnya angka stunting di wilayahnya. Ia kemudian menyusun data dan melakukan pertemuan dengan kepala desa dan DPRD untuk mengalokasikan dana desa bagi pemberian makanan tambahan. Hasilnya, dukungan politik dan pendanaan meningkat sehingga program berjalan lebih efektif.


Kedua, advokasi untuk penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Petugas kesehatan menginisiasi pertemuan dengan bupati, tokoh agama, dan pemilik tempat umum untuk menetapkan kebijakan daerah tentang KTR. Advokasi ini menghasilkan perubahan perilaku sosial dan lingkungan yang lebih sehat.


Ketiga, advokasi vaksinasi. Dalam masa pandemi COVID-19, tenaga kesehatan mendekati tokoh masyarakat dan pemuka agama agar mendukung program vaksinasi. Melalui pendekatan berbasis kepercayaan dan komunikasi persuasif, tingkat penerimaan masyarakat terhadap vaksin meningkat signifikan.


Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa advokasi kesehatan dapat dilakukan pada berbagai level: individu, komunitas, maupun institusional, dengan tujuan akhir yaitu terwujudnya kebijakan dan sistem yang berpihak pada kesehatan masyarakat.



8. Keterkaitan Advokasi dengan Pemberdayaan dan Promosi Kesehatan

Advokasi merupakan salah satu komponen utama dari promosi kesehatan, bersama dengan bina suasana dan pemberdayaan masyarakat.

Advokasi berorientasi pada pengambil keputusan.

Bina suasana berorientasi pada penciptaan opini publik yang positif terhadap isu kesehatan.

Pemberdayaan masyarakat berorientasi pada penguatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan kesehatan.

Ketiga strategi tersebut saling melengkapi dalam kerangka kerja promosi kesehatan nasional sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 8 Tahun 2019.



9. Nilai Strategis Advokasi dalam Sistem Kesehatan Nasional

Advokasi memiliki nilai strategis dalam mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Melalui advokasi, pemerintah daerah dan lembaga lintas sektor dapat menyadari bahwa kesehatan adalah investasi sosial dan ekonomi yang harus diprioritaskan. Advokasi juga memperkuat akuntabilitas publik, transparansi pengambilan keputusan, serta partisipasi masyarakat dalam perencanaan kesehatan.

Dengan demikian, advokasi kesehatan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga merupakan instrumen politik dan sosial untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan berpihak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.


Soal SKB CPNS materi "Advokasi" 


1. Di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Sari, angka stunting pada balita masih tinggi meskipun kegiatan posyandu sudah rutin dilakukan. Petugas gizi menemukan bahwa tidak ada anggaran tambahan dari pemerintah desa untuk mendukung program makanan tambahan bagi balita. Ia kemudian mengumpulkan data, membuat ringkasan hasil pemantauan status gizi, dan mempresentasikannya kepada kepala desa dan ketua PKK agar dana desa dapat dialokasikan untuk program gizi.

Apa bentuk tindakan yang dilakukan oleh petugas gizi tersebut?

A. Edukasi kesehatan kepada masyarakat

B. Bina suasana dalam promosi kesehatan

C. Advokasi kesehatan kepada pengambil kebijakan

D. Sosialisasi program gizi masyarakat

E. Monitoring program posyandu


Pembahasan:

Tindakan yang dilakukan petugas gizi adalah advokasi, karena ia berusaha mempengaruhi pengambil keputusan (kepala desa dan ketua PKK) agar mendukung program kesehatan melalui kebijakan dan pendanaan. Advokasi ditandai dengan pendekatan berbasis bukti (data status gizi), komunikasi strategis, dan tujuan memperoleh komitmen politik atau dukungan sumber daya.

Edukasi dan sosialisasi hanya berfokus pada perubahan pengetahuan masyarakat, bukan kebijakan.

Monitoring dilakukan setelah program berjalan, bukan pada tahap memperoleh dukungan.

Kunci Jawaban: C

Referensi:

Kemenkes RI. (2012). Petunjuk Teknis Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan.



2. Di salah satu desa, banyak orang tua menolak imunisasi karena percaya pada informasi yang salah tentang efek samping vaksin. Kepala Puskesmas kemudian mengundang tokoh agama, tokoh adat, dan perwakilan masyarakat untuk berdialog, serta meminta dukungan mereka agar masyarakat bersedia membawa anaknya ke posyandu.

Upaya yang dilakukan kepala Puskesmas tersebut merupakan bentuk:

A. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kader

B. Advokasi kesehatan kepada tokoh berpengaruh

C. Edukasi kesehatan kepada masyarakat umum

D. Pengawasan pelaksanaan imunisasi

E. Sosialisasi program vaksinasi


Pembahasan:

Pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh adat merupakan advokasi, karena sasaran utamanya adalah pemimpin berpengaruh yang dapat memengaruhi opini dan perilaku masyarakat. Advokasi bertujuan memperoleh dukungan moral dan sosial dari tokoh kunci agar masyarakat mau menerima program kesehatan.

Jika kegiatan dilakukan langsung kepada masyarakat umum, maka itu termasuk edukasi.

Kunci Jawaban: B

Referensi:

WHO. (1998). Health Promotion Glossary. Geneva: World Health Organization.



3. Seorang sanitarian melakukan kajian mengenai tingginya jumlah perokok di fasilitas umum di wilayahnya. Ia menyusun laporan dan mengajukan pertemuan dengan DPRD Kabupaten untuk membahas pentingnya penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Tindakan sanitarian tersebut merupakan implementasi dari:

A. Bina suasana untuk meningkatkan kesadaran publik

B. Advokasi kebijakan kesehatan di tingkat daerah

C. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang lingkungan

D. Kampanye publik tentang bahaya merokok

E. Evaluasi kebijakan daerah tentang KTR


Pembahasan:

Sanitarian tersebut melakukan advokasi kebijakan, karena ia melakukan pendekatan berbasis data kepada pengambil keputusan politik (DPRD) untuk mendorong penerapan Perda. Tujuan advokasi dalam hal ini adalah agar kebijakan publik berpihak pada kesehatan masyarakat melalui regulasi yang melindungi dari bahaya rokok.

Bina suasana atau kampanye publik lebih ditujukan kepada masyarakat luas, sedangkan advokasi menargetkan pengambil keputusan atau pihak berwenang.

Kunci Jawaban: B

Referensi:

Kemenkes RI. (2019). Permenkes Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.



4. Di daerah pesisir, angka diare meningkat akibat buruknya sanitasi. Petugas kesehatan lingkungan melakukan survei sanitasi, menyusun laporan, dan mempresentasikannya kepada camat serta kepala desa dengan tujuan agar pembangunan sarana jamban keluarga dimasukkan dalam prioritas Dana Desa tahun berikutnya.

Apa tujuan utama dari kegiatan petugas tersebut?

A. Mengubah perilaku masyarakat agar buang air besar di jamban

B. Menggerakkan masyarakat untuk gotong royong membuat jamban

C. Memperoleh dukungan kebijakan dan anggaran pembangunan sanitasi

D. Melakukan edukasi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat

E. Melakukan penelitian tentang penyebab diare di daerah pesisir


Pembahasan:

Tujuan utama advokasi adalah mendapatkan dukungan kebijakan dan alokasi sumber daya. Dalam kasus ini, petugas mengajukan data dan hasil survei kepada pengambil keputusan agar pembangunan sarana sanitasi dimasukkan ke dalam rencana anggaran. Hal ini bukan edukasi atau pemberdayaan masyarakat, melainkan tindakan strategis untuk memperoleh dukungan politik dan finansial.

Kunci Jawaban: C

Referensi:

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 170–171.



5. Seorang bidan koordinator di Puskesmas menemukan bahwa banyak ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan. Ia kemudian membuat laporan kasus, menyusun rekomendasi, dan mengusulkan kepada kepala daerah agar menambah satu pos pelayanan terpadu (poskesdes) di wilayah terpencil tersebut.

Berdasarkan kasus tersebut, peran bidan yang paling tepat adalah:

A. Melaksanakan kegiatan edukasi kesehatan kepada ibu hamil

B. Menjadi pelaksana pelayanan antenatal di masyarakat

C. Melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan untuk peningkatan akses layanan KIA

D. Melakukan supervisi terhadap petugas posyandu

E. Menyelenggarakan pelatihan kader untuk pemeriksaan kehamilan


Pembahasan:

Bidan dalam kasus tersebut berperan sebagai advokat kesehatan, yaitu mengumpulkan bukti lapangan dan mengajukan rekomendasi kepada pengambil keputusan (kepala daerah) untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan ibu dan anak. Tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan kebijakan dan sumber daya agar akses pelayanan kesehatan meningkat. Ini mencerminkan implementasi nyata advokasi di bidang KIA.

Kunci Jawaban: C

Referensi:

Kemenkes RI. (2016). Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas.

📚 DAFTAR REFERENSI

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Petunjuk Teknis Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

5. World Health Organization. (1998). Health Promotion Glossary. Geneva: WHO.

6. Green, L. W., & Kreuter, M. W. (2005). Health Promotion Planning: An Educational and Ecological Approach. New York: McGraw-Hill.

7. Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta.

8. Nutbeam, D. (2000). Health literacy as a public health goal: A challenge for contemporary health education and communication strategies into the 21st century. Health Promotion International, 15(3), 259–267.

Soal TWK CPNS dengan topik Implementasi Nasionalisme dalam Nilai-Nilai Pancasila

Soal TWK CPNS dengan topik Implementasi Nasionalisme dalam Nilai-Nilai Pancasila.



1. Seorang pejabat publik menolak izin pembangunan rumah ibadah karena alasan perbedaan keyakinan dengan kelompok pemohon. Ia beralasan bahwa menjaga ketertiban masyarakat lebih penting daripada memberi izin. Masyarakat setempat terpecah menjadi dua kubu: satu mendukung kebijakan itu, satu lagi menolaknya atas dasar hak konstitusional.

Sikap yang paling mencerminkan implementasi nasionalisme sesuai nilai sila pertama Pancasila dalam kasus tersebut adalah ....

A. Menegakkan aturan dengan mempertimbangkan aspirasi mayoritas masyarakat.

B. Melarang pembangunan rumah ibadah agar tidak terjadi konflik sosial.

C. Memberikan izin dengan menjamin perlindungan hukum bagi semua pemeluk agama.

D. Menunda izin pembangunan sampai ada kesepakatan dari seluruh warga.

E. Mengalihkan rumah ibadah ke lokasi yang jauh dari permukiman mayoritas.


Pembahasan:

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan penghormatan terhadap kebebasan beragama dan perlindungan terhadap hak setiap warga negara untuk beribadah menurut agamanya. Nasionalisme yang sejati bersifat religius dan inklusif, bukan menindas keyakinan lain.

Memberikan izin dengan jaminan hukum mencerminkan nasionalisme religius dalam bingkai keadilan dan toleransi.

Kunci Jawaban: ✅ C

Referensi:

Notonagoro (1975), Pancasila Secara Ilmiah Populer;

UUD 1945 Pasal 29 ayat (2);

Kaelan (2013), Pendidikan Pancasila.


2. Seorang warga negara menolak ikut kegiatan sosial membantu korban banjir di daerah lain karena merasa bukan tanggung jawabnya. Ia berpendapat bahwa yang penting keluarganya sendiri aman dan tidak kekurangan.

Sikap warga tersebut bertentangan dengan nilai nasionalisme yang terkandung dalam sila kedua Pancasila karena ....

A. Ia tidak menghargai perbedaan pendapat dengan masyarakat sekitar.

B. Ia tidak menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi.

C. Ia mengabaikan nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial sebagai sesama warga bangsa.

D. Ia menolak untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi nasional.

E. Ia menolak hasil keputusan bersama warga setempat.


Pembahasan:

Sila kedua mengandung nilai perikemanusiaan dan keadilan sosial, yang menjadi dasar nasionalisme humanis.

Nasionalisme semacam ini tidak diukur dari kepentingan pribadi, melainkan dari kepedulian terhadap sesama manusia.

Menolak membantu korban bencana berarti mengabaikan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga bertentangan dengan semangat nasionalisme Pancasila.

Kunci Jawaban: ✅ C


Referensi:

Kaelan (2013), Pendidikan Pancasila;

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.


3. Dalam sebuah sekolah multikultural, siswa dari berbagai daerah sering menggunakan bahasa daerah masing-masing saat berinteraksi. Namun, sebagian guru menegur mereka karena dianggap mengurangi semangat kebangsaan.

Tindakan yang paling tepat sebagai bentuk implementasi nasionalisme sesuai sila ketiga Pancasila adalah ....

A. Melarang seluruh siswa menggunakan bahasa daerah agar tetap nasionalis.

B. Mendorong penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tanpa meniadakan bahasa daerah.

C. Mengizinkan penggunaan bahasa daerah saja untuk menjaga keaslian budaya.

D. Meminta siswa menggunakan bahasa asing agar bisa bersaing secara global.

E. Membatasi siswa dari daerah minoritas agar lebih mudah diatur.


Pembahasan:

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menuntun nasionalisme yang menghargai keberagaman dalam kebersatuan.

Mengutamakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tanpa meniadakan bahasa daerah menunjukkan penerapan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Itulah bentuk nasionalisme inklusif yang menjaga identitas lokal dalam bingkai nasional.

Kunci Jawaban: ✅ B

Referensi:

Yudi Latif (2011), Negara Paripurna;

Sumpah Pemuda 1928;

UUD 1945 Pasal 36.



4. Dalam rapat desa, keputusan mengenai penggunaan dana pembangunan dilakukan dengan voting. Namun, kepala desa mengabaikan hasil suara terbanyak dan menetapkan keputusannya sendiri dengan alasan “demi efisiensi”.

Sikap kepala desa tersebut bertentangan dengan nilai nasionalisme berdasarkan sila keempat Pancasila karena ....

A. Tidak mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas.

B. Mengabaikan nilai demokrasi dan musyawarah dalam pengambilan keputusan.

C. Mengutamakan kepentingan ekonomi daripada kesejahteraan sosial.

D. Tidak melibatkan lembaga legislatif desa dalam setiap kebijakan.

E. Menolak kerja sama antarwarga dalam kegiatan pemerintahan.


Pembahasan:

Sila keempat menegaskan pentingnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Implementasi nasionalisme di sini berarti menjunjung tinggi prinsip demokrasi Pancasila — keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama, bukan otoriter.

Tindakan kepala desa menunjukkan sikap anti-demokrasi yang tidak mencerminkan nasionalisme Pancasila.

Kunci Jawaban: ✅ B

Referensi:

Kaelan (2012), Pendidikan Kewarganegaraan;

UUD 1945 Pasal 1 ayat (2).



5. Pemerintah daerah memberikan bantuan modal usaha hanya kepada warga yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat tertentu. Warga lain yang miskin dan tidak memiliki akses politik tidak mendapatkan bantuan apapun.

Kebijakan tersebut tidak mencerminkan implementasi nasionalisme berdasarkan sila kelima Pancasila karena ....

A. Tidak mendukung kemandirian daerah dalam ekonomi nasional.

B. Mengabaikan prinsip efisiensi dalam pembagian dana publik.

C. Mengabaikan asas keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

D. Tidak memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik.

E. Menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin daerah.


Pembahasan:

Sila kelima menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai wujud nasionalisme sosial.

Nasionalisme tidak hanya berbicara tentang cinta tanah air, tetapi juga komitmen terhadap kesejahteraan dan pemerataan.

Memberikan bantuan secara tidak adil merupakan bentuk penyimpangan terhadap nilai keadilan sosial dan merusak kepercayaan terhadap semangat nasionalisme Pancasila.

Kunci Jawaban: ✅ C

Referensi:

Bung Karno (1945), Lahirnya Pancasila;

UUD 1945 Pasal 33–34;

Kementerian Pertahanan RI (2018), Modul Bela Negara.

Implementasi Nasionalisme dalam Nilai-Nilai Pancasila

Implementasi Nasionalisme dalam Nilai-Nilai Pancasila


Nasionalisme Indonesia merupakan semangat kebangsaan yang berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Nasionalisme ini tidak bersifat sempit atau eksklusif, melainkan nasionalisme yang inklusif dan humanis, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, serta persatuan dalam keberagaman. Pancasila menjadi landasan moral dan ideologis yang mengarahkan bagaimana nasionalisme diwujudkan dalam perilaku dan kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi nasionalisme dalam nilai-nilai Pancasila berarti menghidupkan semangat cinta tanah air melalui pengamalan kelima sila dalam kehidupan nyata — baik sebagai individu, warga masyarakat, maupun warga negara.


1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa


Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa nasionalisme Indonesia dibangun atas dasar keimanan kepada Tuhan, tanpa mengesampingkan toleransi dan kebebasan beragama. Nasionalisme dalam konteks sila pertama tidak menonjolkan agama tertentu sebagai superior, tetapi menekankan penghormatan terhadap keyakinan dan perbedaan agama sebagai bagian dari identitas bangsa yang majemuk.


Implementasi nasionalisme pada sila ini dapat dilihat dari:


Sikap toleran antarumat beragama dan kepercayaan.


Tidak memaksakan agama kepada orang lain, serta menghormati kebebasan beribadah.


Pemerintah menjamin perlindungan tempat ibadah dan hak beragama semua warga.


Lembaga pendidikan mengembangkan kegiatan lintas agama yang menumbuhkan saling pengertian.


Masyarakat aktif menolak ujaran kebencian atau konflik berlatar agama.



Sebagai contoh konkret, ketika masyarakat dari berbagai agama bekerja sama dalam kegiatan sosial seperti bantuan bencana tanpa membedakan keyakinan, hal tersebut mencerminkan nasionalisme religius yang berpijak pada nilai Ketuhanan.



2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Sila kedua menekankan bahwa nasionalisme Indonesia harus berpijak pada penghormatan terhadap martabat manusia. Nasionalisme yang sejati tidak akan menindas bangsa lain ataupun sesama warga negara, melainkan menegakkan prinsip keadilan dan perikemanusiaan.


Implementasi nasionalisme dalam sila ini antara lain:


Menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa membeda-bedakan latar belakang etnis, ras, agama, atau sosial.


Menolak segala bentuk kekerasan, penindasan, dan diskriminasi.


Mengembangkan rasa empati dan kepedulian sosial terhadap sesama.


Pemerintah menyediakan akses layanan publik yang adil, termasuk pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warga.


Warga negara aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan, seperti donor darah, bakti sosial, dan aksi solidaritas.



Sebagai contoh nyata, saat masyarakat secara sukarela memberikan bantuan kepada korban bencana alam di daerah lain tanpa melihat asal suku atau agamanya, tindakan itu mencerminkan nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.



3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia


Sila ketiga merupakan inti dari nasionalisme Indonesia, karena mengandung makna menjaga keutuhan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Nasionalisme dalam konteks sila ini berarti mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, serta berkomitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Implementasi nasionalisme dalam sila ini dapat diwujudkan melalui:


Menjaga semangat persaudaraan di tengah keberagaman suku, agama, ras, dan budaya.


Menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.


Menghargai simbol-simbol negara seperti bendera, lagu kebangsaan, dan lambang negara.


Mengutamakan produk dalam negeri untuk memperkuat ekonomi nasional.


Menolak ideologi separatisme dan gerakan yang mengancam keutuhan NKRI.



Contoh konkret dari implementasi sila ketiga adalah semangat gotong royong antarwarga dalam kegiatan pembangunan desa, atau perayaan Hari Kemerdekaan yang melibatkan semua kalangan tanpa diskriminasi. Ketika masyarakat menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok, itulah wujud nasionalisme persatuan.



4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan


Sila keempat menekankan aspek demokrasi yang berkeadaban sebagai bagian dari nasionalisme. Nasionalisme di sini diwujudkan melalui partisipasi aktif rakyat dalam sistem pemerintahan yang demokratis, berdasarkan musyawarah dan hikmat kebijaksanaan, bukan melalui kekuasaan absolut atau kekerasan politik.


Implementasi nasionalisme dalam sila ini antara lain:


Berpartisipasi dalam pemilu secara jujur, adil, dan bertanggung jawab.


Menghargai perbedaan pendapat dan hasil musyawarah.


Tidak memaksakan kehendak pribadi atau golongan dalam pengambilan keputusan bersama.


Mengutamakan kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan publik.


Mengembangkan budaya politik yang santun, beretika, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.



Contoh implementasi nyata adalah ketika masyarakat mengikuti pemilu dengan tertib tanpa terpengaruh politik identitas, serta menghormati hasil pilihan rakyat. Hal ini menunjukkan nasionalisme demokratis yang mencerminkan semangat kerakyatan dalam bingkai Pancasila.



5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Sila terakhir mengandung makna bahwa nasionalisme Indonesia tidak hanya berupa semangat persatuan, tetapi juga tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nasionalisme yang sejati menuntut keadilan sosial bagi seluruh rakyat, agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi maupun sosial.


Implementasi nasionalisme dalam sila ini meliputi:


Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah tertinggal.


Kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil dan pelaku UMKM.


Menolak segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan masyarakat.


Mengembangkan rasa solidaritas sosial dengan membantu masyarakat miskin.


Mengedepankan keadilan dalam distribusi sumber daya alam dan kesempatan kerja.



Sebagai contoh, program pemerintah dalam bentuk bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kebijakan pendidikan gratis merupakan bentuk nyata implementasi nasionalisme yang berlandaskan keadilan sosial. Warga negara yang mendukung produk lokal dan berkontribusi dalam pengembangan ekonomi daerah juga mencerminkan semangat nasionalisme keadilan sosial.


Kesimpulan


Nasionalisme dalam perspektif Pancasila bukanlah nasionalisme yang menutup diri dari dunia luar, melainkan nasionalisme yang terbuka, humanis, religius, dan berkeadilan. Pancasila mengajarkan bahwa cinta tanah air tidak hanya diukur dari loyalitas terhadap simbol negara, tetapi juga dari tindakan nyata dalam membangun persatuan, menegakkan keadilan, dan menghormati kemanusiaan. Oleh karena itu, implementasi nasionalisme dalam nilai-nilai Pancasila harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan — sosial, politik, ekonomi, budaya, dan spiritual — sebagai bentuk tanggung jawab warga negara terhadap bangsa dan negara Indonesia.


Daftar Referensi


Bung Karno. (1945). Lahirnya Pancasila: Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945. Jakarta: Sekretariat Negara RI.


Driyarkara, N. (1980). Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran Manusia. Jakarta: Gramedia.


Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.


Kaelan. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.


Kementerian Pertahanan RI. (2018). Modul Bela Negara. Jakarta: Kemenhan RI.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Kemendikbud.


Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.


LIPI. (2019). Kajian Nasionalisme di Era Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.


Notonagoro. (1975). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) CPNS dengan materi: Implementasi Nasionalisme Tokoh-Tokoh Nasional Indonesia

Soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) CPNS dengan materi: Implementasi Nasionalisme Tokoh-Tokoh Nasional Indonesia


1. Seorang pemuda masa kini ingin meneladani semangat nasionalisme tokoh bangsa dalam membangun negeri. Ia memutuskan untuk menciptakan inovasi teknologi pertanian agar petani kecil dapat meningkatkan hasil panen tanpa bergantung pada impor alat dari luar negeri.

Tindakan pemuda tersebut paling mencerminkan nilai nasionalisme yang diimplementasikan oleh tokoh nasional berikut ini:

A. Ir. Soekarno

B. Drs. Mohammad Hatta

C. Tan Malaka

D. Ki Hadjar Dewantara

E. Ir. Djuanda Kartawidjaja



Pembahasan:

Tindakan pemuda tersebut mencerminkan nasionalisme ekonomi, yaitu upaya membangun kemandirian ekonomi bangsa tanpa ketergantungan pada pihak asing.

Mohammad Hatta mengajarkan bahwa kemerdekaan politik harus disertai kemerdekaan ekonomi. Ia memperjuangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang berakar pada gotong royong dan kesejahteraan rakyat.

Inovasi teknologi pertanian dalam kasus ini merupakan wujud penerapan nilai nasionalisme Hatta — yakni membangun bangsa dengan kekuatan sendiri untuk kesejahteraan rakyat.

Kunci Jawaban: ✅ B. Drs. Mohammad Hatta


📚 Referensi:


Hatta, M. (1954). Menuju Masyarakat Indonesia Merdeka. Balai Pustaka.


Lemhannas RI. (2020). Nilai-Nilai Kejuangan dan Nasionalisme Tokoh Bangsa.



2. Dalam upaya meningkatkan karakter generasi muda, seorang guru mengembangkan metode belajar yang menanamkan nilai gotong royong, tanggung jawab, dan cinta tanah air. Ia menolak kurikulum yang hanya berorientasi pada nilai akademik tanpa pembentukan moral kebangsaan.

Pendekatan guru tersebut paling sejalan dengan pemikiran nasionalisme tokoh berikut:

A. Ki Hadjar Dewantara

B. Soekarno

C. Sutan Sjahrir

D. H.O.S. Cokroaminoto

E. R.A. Kartini



Pembahasan:

Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter bangsa, bukan sekadar pemberian ilmu pengetahuan.

Ia mendirikan Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan semangat nasionalisme, kemandirian, dan cinta tanah air.

Guru dalam kasus ini menerapkan nilai-nilai tersebut dengan menolak pendidikan yang kering dari moral kebangsaan.

Hal ini sesuai dengan semboyan Ki Hadjar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Kunci Jawaban: ✅ A. Ki Hadjar Dewantara


📚 Referensi:


Dewantara, K.H. (1936). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017). Sejarah Indonesia SMA/MA Kelas XI.



3. Pemerintah berencana meningkatkan produksi mobil listrik nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar dan mobil luar negeri. Beberapa pihak menilai langkah ini sebagai bentuk kebangkitan industri nasional berbasis kemandirian bangsa.

Kebijakan tersebut merupakan implementasi nilai nasionalisme yang sejalan dengan gagasan tokoh berikut:

A. Tan Malaka

B. Ir. Djuanda Kartawidjaja

C. Mohammad Hatta

D. Soekarno

E. Sam Ratulangi



Pembahasan:

Soekarno mengajarkan bahwa nasionalisme tidak hanya berarti mencintai tanah air secara emosional, tetapi juga membangun kemandirian politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam pidato-pidatonya, Soekarno menekankan pentingnya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Kebijakan mobil listrik nasional menggambarkan upaya untuk berdikari dalam bidang teknologi, sesuai dengan konsep nasionalisme Soekarno yang bersifat produktif dan progresif.

Kunci Jawaban: ✅ D. Soekarno


📚 Referensi:


Soekarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit DBR.


Lemhannas RI. (2020). Nilai-Nilai Kejuangan dan Nasionalisme Tokoh Bangsa.



4. Seorang mahasiswa menulis skripsi tentang pentingnya memperkuat diplomasi Indonesia di Asia Tenggara dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, perdamaian, dan persahabatan antarnegara.

Sikap mahasiswa tersebut paling sejalan dengan semangat nasionalisme yang diterapkan oleh:

A. Sutan Sjahrir

B. H.O.S. Cokroaminoto

C. Pangeran Diponegoro

D. Tan Malaka

E. H. Agus Salim


Pembahasan:


Sutan Sjahrir dikenal sebagai tokoh nasionalis yang berorientasi pada perjuangan diplomatik dan kemanusiaan.

Ia menolak kekerasan dalam perjuangan, dan menekankan pentingnya kemerdekaan yang berlandaskan moral, intelektual, dan kemanusiaan.

Pendekatan mahasiswa dalam memperkuat diplomasi dan perdamaian mencerminkan semangat nasionalisme rasional ala Sjahrir, yaitu cinta tanah air yang disertai tanggung jawab moral terhadap dunia internasional.

Kunci Jawaban: ✅ A. Sutan Sjahrir


📚 Referensi:


Sjahrir, S. (1945). Perdjoeangan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.


Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Serambi.


5. Di tengah pesatnya arus globalisasi, seorang wirausahawan lokal berusaha memasarkan produk tradisional Indonesia ke pasar dunia dengan menjaga nilai budaya asli dan melibatkan masyarakat sekitar sebagai mitra.

Perilaku wirausahawan ini paling mencerminkan implementasi nasionalisme dari tokoh berikut:

A. R.A. Kartini

B. Ki Hadjar Dewantara

C. Ir. Djuanda Kartawidjaja

D. Mohammad Hatta

E. Sam Ratulangi



Pembahasan:

Dr. Sam Ratulangi menanamkan nasionalisme melalui semboyannya “Si Tou Timou Tumou Tou” yang berarti “manusia hidup untuk memanusiakan manusia.”

Ia mengajarkan bahwa nasionalisme sejati harus diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal.

Wirausahawan yang mengangkat produk tradisional sambil melibatkan masyarakat mencerminkan semangat nasionalisme inklusif dan humanistik ala Sam Ratulangi — nasionalisme yang membangun manusia dan budaya.

Kunci Jawaban: ✅ E. Sam Ratulangi


📚 Referensi:


Ratulangi, S. (1930). Si Tou Timou Tumou Tou.


Lemhannas RI. (2020). Nilai-Nilai Kejuangan dan Nasionalisme Tokoh Bangsa.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017). Sejarah Indonesia SMA/MA Kelas XI.

IMPLEMENTASI NASIONALISME TOKOH-TOKOH NASIONAL INDONESIA

 ðŸ§­ IMPLEMENTASI NASIONALISME TOKOH-TOKOH NASIONAL INDONESIA


1. Pengertian Nasionalisme


Nasionalisme merupakan semangat kebangsaan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Paham ini menjadi dasar terbentuknya kesadaran berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks Indonesia, nasionalisme tumbuh sebagai reaksi terhadap penjajahan dan ketidakadilan, serta menjadi kekuatan pemersatu berbagai suku, agama, ras, dan golongan untuk memperjuangkan kemerdekaan.


Menurut Soekarno, nasionalisme Indonesia bukanlah chauvinisme sempit yang merendahkan bangsa lain, melainkan semangat untuk mencintai tanah air dan mengembangkan diri agar dapat memberi manfaat bagi umat manusia.

Sementara Hans Kohn menyebut nasionalisme sebagai kesadaran kolektif akan pentingnya kesatuan politik dan kebudayaan yang menuntut kemerdekaan bangsa.

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa nasionalisme sejati lahir dari rasa cinta yang mendalam terhadap tanah air, yang diwujudkan melalui pengabdian di bidang pendidikan, kebudayaan, dan kemasyarakatan.



2. Tujuan dan Nilai-Nilai Nasionalisme Indonesia


Tujuan nasionalisme Indonesia adalah mewujudkan persatuan bangsa, melawan penjajahan, membangun identitas nasional, menegakkan keadilan sosial, dan menjaga kedaulatan negara.

Nilai-nilai utama yang terkandung di dalamnya meliputi cinta tanah air, rela berkorban, tanggung jawab, gotong royong, toleransi, disiplin, dan menghargai keberagaman.



3. Implementasi Nasionalisme Tokoh-Tokoh Nasional Indonesia


a. Soekarno


Ir. Soekarno adalah tokoh yang menanamkan nasionalisme melalui perjuangan politik, pemikiran, dan tindakan. Ia mempersatukan berbagai golongan dan ideologi bangsa melalui konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), sebagai strategi untuk menghindari perpecahan bangsa.

Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, ia menggagas Pancasila sebagai dasar negara, yang berakar pada nilai-nilai nasionalisme, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Soekarno menolak segala bentuk penjajahan dan terus mengobarkan semangat kemerdekaan. Nasionalismenya bersifat inklusif dan berwawasan dunia.



b. Mohammad Hatta


Drs. Mohammad Hatta, atau Bung Hatta, menunjukkan nasionalisme melalui perjuangan di bidang ekonomi dan pendidikan. Ia percaya bahwa kemerdekaan politik harus disertai dengan kemandirian ekonomi rakyat.

Hatta memperjuangkan sistem koperasi sebagai bentuk ekonomi gotong royong yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ia juga menanamkan nilai disiplin, tanggung jawab, dan kesederhanaan sebagai wujud cinta tanah air.

Melalui pemikirannya, Hatta menunjukkan bahwa nasionalisme bukan hanya perjuangan bersenjata, melainkan perjuangan membangun kesejahteraan bangsa.



c. Ki Hadjar Dewantara


Ki Hadjar Dewantara menanamkan nasionalisme melalui pendidikan. Ia mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, lembaga pendidikan nasional pertama yang bebas dari pengaruh kolonial.

Ia memperjuangkan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi.

Semboyannya yang terkenal, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, menggambarkan nilai kepemimpinan dan pembentukan karakter bangsa.

Bagi Ki Hadjar, pendidikan adalah alat untuk membangkitkan kesadaran kebangsaan dan memperkuat identitas nasional.



d. Raden Ajeng Kartini


R.A. Kartini menunjukkan nasionalisme dalam bentuk perjuangan intelektual dan sosial. Ia menentang sistem feodal dan diskriminasi gender yang membatasi peran perempuan dalam kehidupan bangsa.

Melalui surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menanamkan gagasan bahwa perempuan harus memperoleh hak pendidikan yang sama agar dapat berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Kartini melihat nasionalisme sebagai kesadaran untuk membangun bangsa melalui pencerahan, kesetaraan, dan kemanusiaan.



e. Cut Nyak Dien


Cut Nyak Dien adalah contoh nyata nasionalisme yang diwujudkan dalam perjuangan bersenjata. Ia memimpin perlawanan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, gugur di medan perang.

Dengan keberanian dan keteguhan iman, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan meskipun dalam kondisi sulit.

Baginya, mempertahankan tanah air adalah bagian dari ibadah dan kewajiban moral sebagai bangsa yang merdeka.

Semangat juangnya mencerminkan nilai rela berkorban dan keteguhan hati dalam membela tanah air.



f. Pangeran Diponegoro


Pangeran Diponegoro adalah simbol nasionalisme yang berpadu dengan spiritualitas dan keadilan sosial. Ia memimpin Perang Jawa (1825–1830) melawan pemerintah kolonial Belanda karena menentang penindasan dan ketidakadilan terhadap rakyatnya.

Bagi Diponegoro, perjuangan melawan penjajah bukan hanya perang politik, tetapi juga perjuangan moral dan keagamaan.

Semangatnya menjadi teladan nasionalisme yang dilandasi keimanan dan kejujuran dalam memperjuangkan hak rakyat.



g. Tan Malaka


Tan Malaka menanamkan nasionalisme melalui gagasan filsafat dan pendidikan rakyat. Dalam karyanya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), ia menyerukan agar rakyat Indonesia berpikir kritis dan mandiri.

Tan Malaka percaya bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kebodohan dan kemiskinan.

Ia berjuang di bawah tanah dan sering berpindah negara demi menyebarkan semangat nasionalisme dan anti-imperialisme di Asia Tenggara.



h. Sutan Sjahrir


Sutan Sjahrir menunjukkan nasionalisme dengan pendekatan rasional dan diplomatis. Ia berpendapat bahwa kemerdekaan harus dicapai dengan cara yang beradab dan sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

Sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia, Sjahrir memimpin perjuangan diplomatik untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

Ia juga menulis Perdjoeangan Kita (1945), yang berisi refleksi intelektual tentang nasionalisme dan moralitas politik.



i. H.O.S. Cokroaminoto


H.O.S. Cokroaminoto menanamkan nasionalisme melalui gerakan sosial dan pendidikan politik. Ia memimpin Sarekat Islam, organisasi massa pertama di Indonesia yang menanamkan kesadaran nasional.

Ia mendidik banyak tokoh besar seperti Soekarno, Semaoen, dan Kartosuwiryo.

Cokroaminoto menekankan pentingnya persatuan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan tanpa memecah belah bangsa.

Semangatnya mencerminkan nasionalisme religius yang moderat.



j. Ir. Djuanda Kartawidjaja


Ir. Djuanda menunjukkan nasionalisme melalui kebijakan kenegaraan. Ia mengeluarkan Deklarasi Djuanda (1957) yang menegaskan bahwa laut Indonesia adalah bagian dari wilayah kedaulatan nasional.

Deklarasi ini menjadi dasar bagi konsep Wawasan Nusantara, yang memperkuat persatuan wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.

Nasionalisme Djuanda berwujud pada perjuangan mempertahankan integritas teritorial bangsa.



k. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari


K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menunjukkan nasionalisme melalui perjuangan keagamaan dan pendidikan.

Ahmad Dahlan menekankan pentingnya Islam yang rasional dan modern untuk kemajuan bangsa, sedangkan Hasyim Asy’ari menanamkan semangat jihad mempertahankan tanah air dari penjajahan.

Keduanya memperkuat nasionalisme religius yang berakar pada nilai moral, persatuan, dan toleransi.



l. Sisingamangaraja XII


Sisingamangaraja XII adalah raja Batak yang memimpin perlawanan melawan Belanda di Sumatera Utara. Ia menolak tunduk pada kekuasaan kolonial dan rela berkorban demi kemerdekaan bangsanya.

Perjuangannya tidak hanya bersifat militer, tetapi juga spiritual, karena ia memandang kemerdekaan sebagai kehendak ilahi.

Sisingamangaraja XII adalah simbol nasionalisme etnis yang berpadu dalam semangat nasional.


m. Pattimura (Thomas Matulessy)


Pattimura memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817.

Ia dikenal sebagai sosok pemberani dan pemersatu rakyat yang beragam suku dan agama di Maluku.

Bagi Pattimura, kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan perjuangan harus dilakukan dengan keberanian dan kesetiaan kepada tanah air.

Semangatnya menjadi inspirasi nasionalisme di wilayah timur Indonesia.



n. Dr. Sam Ratulangi


Dr. Sam Ratulangi adalah tokoh pendidikan dan politik asal Sulawesi Utara yang memperjuangkan nasionalisme melalui pembangunan manusia.

Ia mengajarkan bahwa manusia hidup untuk mengabdi kepada masyarakat (“Si Tou Timou Tumou Tou”).

Ratulangi berjuang di bidang pendidikan, sosial, dan politik untuk memperkuat kesadaran kebangsaan di daerah timur Indonesia.



4. Implementasi Nasionalisme di Era Modern


Semangat nasionalisme para tokoh bangsa harus terus dihidupkan di era modern dengan cara:


1. Menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.



2. Meningkatkan rasa cinta tanah air melalui karya dan inovasi.



3. Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.



4. Menghargai keberagaman sebagai kekayaan bangsa.



5. Menegakkan keadilan sosial dan membangun kemandirian ekonomi nasional.




5. Kesimpulan


Implementasi nasionalisme para tokoh nasional Indonesia tidak hanya berupa perjuangan melawan penjajah, tetapi juga perjuangan intelektual, sosial, ekonomi, dan moral.

Nilai-nilai perjuangan mereka seperti cinta tanah air, persatuan, gotong royong, dan tanggung jawab menjadi fondasi bagi keberlangsungan NKRI.

Generasi muda wajib meneruskan semangat itu dengan mengabdikan diri bagi bangsa dan negara di berbagai bidang kehidupan.



📚 Referensi


1. Soekarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit DBR.



2. Hatta, Mohammad. (1954). Menuju Masyarakat Indonesia Merdeka. Jakarta: Balai Pustaka.



3. Dewantara, Ki Hadjar. (1936). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.



4. Sjahrir, Sutan. (1945). Perdjoeangan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.



5. Tan Malaka. (1943). Madilog. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Rakyat.



6. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.



7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017). Sejarah Indonesia SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Kemendikbud.



8. Lembaga Ketahanan Nasional RI. (2020). Nilai-Nilai Kejuangan dan Nasionalisme Tokoh Bangsa. Jakarta: Lemhannas RI.



9. Notosusanto, Nugroho. (1984). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Soal TWK CPNS tentang implementasi nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia

 Soal TWK CPNS tentang implementasi nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. 


1. Pada awal abad ke-20, organisasi B mendirikan sekolah, mengorganisir perkumpulan ekonomi, dan menerbitkan koran berbahasa daerah untuk membangkitkan kesadaran politik. Di kota lain, organisasi C yang beranggotakan mahasiswa di luar negeri mengadvokasi satu identitas nasional tunggal (bahasa dan nama negara) melalui tulisan-tulisan politiknya. Kedua organisasi itu tampak berbeda cara dan basisnya, namun keduanya berkontribusi pada lahirnya satu gerakan kebangsaan yang lebih luas. Berdasarkan teori proses nasionalisasi dan bukti sejarah pergerakan nasional Indonesia, pernyataan manakah yang paling tepat menggambarkan bagaimana interaksi antara strategi berbasis lokal (sekolah, pesan ekonomi, media lokal) dan strategi diasporik/intelektual (organisasi mahasiswa di luar negeri) mempercepat munculnya identitas nasional Indonesia?

A. Strategi lokal lebih menentukan karena menyentuh massa; kontribusi organisasi luar negeri hanya bersifat simbolis dan tidak praktis.

B. Organisasi diaspora bertindak sebagai katalis utama; tanpa tulisan dan istilah yang mereka populerkan, gerakan lokal hanya akan terfragmentasi menjadi gerakan daerah.

C. Kedua strategi saling melengkapi: basis lokal menyediakan jaringan massa dan legitimasi sosial, sementara jaringan intelektual diaspora menyintesis gagasan identitas dan menyediakan bahasa politik yang mempersatukan.

D. Integrasi kedua strategi hanya mungkin ketika dipimpin oleh elit tunggal yang memaksakan satu model organisasi; tanpa itu, persatuan tidak akan tercapai.

E. Peran media lokal lebih penting daripada aktivitas pendidikan karena hanya media yang mampu menyampaikan pesan ke wilayah luas.


Pembahasan:

Langkah penalaran: bandingkan bukti sejarah (Budi Utomo, Sarekat Islam, Medan Prijaji; Perhimpunan Indonesia di Belanda, Indische Partij) dan teori nasionalisme (kombinasi struktural-kultural).

1. Bukti empiris: Organisasi lokal (sekolah, koperasi, koran lokal) membangun basis massa, literasi politik, dan legitimasi sosial (mis. Medan Prijaji, Sarekat Islam). Tanpa basis ini, gagasan abstrak tidak menjadi gerakan massa.

2. Peran diaspora/intelektual: Perhimpunan Indonesia dan Indische Partij populerkan istilah politik (mis. “Indonesia Merdeka”), merumuskan gagasan kelembagaan dan bahasa politik yang bisa diterima lintas daerah.

3. Sinergi: Sumpah Pemuda (1928) adalah contoh titik temu—produk interaksi: ide nasional yang disebarkan intelektual dan komitmen massa yang dibangun lokal.

4. Alternatif A dan B bersifat ekstrem; D salah karena kepemimpinan tunggal bukan prasyarat mutlak (coalition politics cukup); E mengabaikan pendidikan/pemberdayaan struktur.

Kunci Jawaban: C.

Opsi C paling lengkap dan selaras bukti sejarah serta teori.



2. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintah republik menghadapi dilema: mempertahankan kedaulatan melalui perang terbuka yang bisa menyebabkan kehancuran di kota-kota besar, atau melakukan deregulasi sementara dan lebih mengedepankan jalur diplomasi internasional demi mengonsolidasikan legitimasi. Beberapa pemimpin berargumen bahwa nasionalisme defensif (mengutamakan nyawa rakyat dan infrastruktur) harus dipilih; yang lain berpendapat bahwa nasionalisme konfrontatif (melawan kapan pun mungkin) adalah satu-satunya jalan untuk menunjukkan keteguhan bangsa terhadap penjajah.

Jika Anda adalah penasihat strategi bagi pemerintah RI waktu itu, pendekatan manakah yang paling efektif untuk mempertahankan kemerdekaan jangka panjang sambil meminimalkan kerusakan sosial-ekonomi? Pilih jawaban yang paling mendekati berdasarkan analisis sejarah konflik 1945–1949 dan teori tentang legimitasi serta pembentukan negara baru.

A. Mengutamakan nasionalisme konfrontatif: perang terbuka menunjukkan tekad dan menghasilkan legitimasi internal yang kuat.

B. Mengutamakan diplomasi penuh: menghindari pertempuran besar agar infrastruktur tetap utuh dan mengandalkan opini internasional.

C. Strategi hibrid: pertahankan posisi strategis dan lakukan aksi militer selektif untuk menciptakan leverage diplomatik, sambil memaksimalkan upaya diplomasi internasional.

D. Menyerah pada superioritas militer musuh untuk menghindari kehancuran lalu negoisasi internal guna mendapatkan otonomi bertahap.

E. Fokus pada reorganisasi administratif dan pembangunan pelayanan publik, menunda konflik militer/diplomasi sampai kekuatan ekonomi kembali pulih.


Pembahasan:

Langkah penalaran: analisis bagaimana RI bertahan — kombinasi perjuangan fisik (Surabaya, pertempuran lainnya) dan diplomasi (Linggarjati, Renville, Konferensi Meja Bundar).

1. Perjuangan fisik menunjukkan legitimasi dan keteguhan—mendorong semangat nasional dan menahan agresor, namun bila bersifat total dapat menghancurkan negara.

2. Diplomasi internasional penting untuk menghambat intervensi terbuka dari kekuatan lain dan memperoleh pengakuan; namun diplomasi tanpa kemampuan militer untuk menegaskan klaim seringkali lemah.

3. Praktik sejarah: Republik melakukan keduanya—peperangan lokal intens + negosiasi internasional—yang akhirnya membuka jalur pengakuan.

4. Opsi D dan E ekstrem dan berisiko melemahkan klaim kedaulatan.

Kunci Jawaban: C

Opsi C (strategi hibrid, selektif) terbaik karena secara empiris terbukti bekerja dan teoritis mendukung pembentukan negara yang berkelanjutan.



3. Seorang sejarawan modern menilai dua pendekatan nasionalisme: nasionalisme etnis yang menekankan asal-usul kultural tertentu, dan nasionalisme sipil (civic) yang menekankan kesamaan politik (warga negara, konstitusi). Ia menggunakan kasus Indonesia untuk menunjukkan bahwa bentuk nasionalisme yang diadopsi saat kemerdekaan menentukan stabilitas pasca-merdeka: jika negara memilih kriteria etnis, konflik vertikal meningkat; bila memilih kriteria sipil (konstitusi, Pancasila), integrasi lebih mungkin.

Berdasarkan perjalanan sejarah perumusan dasar negara (BPUPKI, perdebatan tentang dasar negara), manakah argumen paling kuat yang mendukung klaim bahwa Pancasila merepresentasikan nasionalisme sipil (civic) yang cocok untuk Indonesia yang plural?

A. Pancasila menekankan satu agama (ketuhanan) sehingga ia sebenarnya mendekati nasionalisme etnis berbasis agama.

B. Pancasila menyatukan prinsip politik (kedaulatan rakyat, keadilan sosial) yang memungkinkan keberagaman suku dan agama hidup bersama dalam kerangka konstitusi—ciri nasionalisme sipil.

C. Pancasila gagal karena tetap menyisakan ruang bagi dominasi kelompok mayoritas sehingga tidak sepenuhnya civic.

D. Pancasila lebih tepat disebut kompromi pragmatis daripada manifestasi nasionalisme sipil, sehingga klaim apapun tentang civic nature-nya lemah.

E. Nasionalisme sipil tidak relevan; yang menentukan stabilitas adalah kesejahteraan ekonomi, bukan bentuk ideologi dasar negara.


Pembahasan:

Langkah penalaran: evaluasi teks Pancasila, proses perumusan (BPUPKI), dan konteks pluralitas Indonesia.

1. Pancasila mengandung sila-sila yang normatif: Ketuhanan Yang Maha Esa (mengakui dimensi religius), Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan Sosial — struktur ini menekankan prinsip bersama, bukan identitas etnis tunggal.

2. Dialog BPUPKI menunjukkan upaya merumuskan dasar yang inklusif—meski ada perdebatan tajam (Piagam Jakarta vs naskah final), hasilnya adalah bentuk konsensus politik.

3. Opsi A terlalu menyederhanakan; keberadaan unsur religius tidak sama dengan etnisitas dominan. Opsi C dan D mengandung kritik valid tapi tidak meniadakan fakta bahwa Pancasila menyediakan kerangka sipil konstitusional. Opsi E mengalihkan fokus.

Kunci Jawaban: B

B paling akurat: Pancasila berfungsi sebagai landasan civic—menyatukan pluralitas di bawah norma konstitusional.



4. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), banyak tokoh pergerakan nasional memanfaatkan organisasi bentukan Jepang seperti PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai wadah perjuangan politik. Meskipun organisasi-organisasi ini awalnya dimaksudkan untuk kepentingan Jepang, para tokoh Indonesia menggunakannya untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.

Dari sudut pandang implementasi nilai nasionalisme, fenomena ini mencerminkan sikap …

a. Kepatuhan total terhadap pemerintah penjajah demi keamanan nasional

b. Kolaborasi politik tanpa mempertimbangkan cita-cita bangsa

c. Adaptasi strategis untuk mencapai kepentingan nasional

d. Perlawanan bersenjata langsung terhadap penjajah

e. Ketergantungan ideologis terhadap kekuatan asing


Pembahasan:

Perjuangan melalui PUTERA dan BPUPKI menunjukkan kemampuan bangsa Indonesia untuk menyesuaikan strategi perjuangan dengan situasi dan peluang politik yang tersedia. Nasionalisme dalam konteks ini tidak selalu berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga kecerdasan dalam memanfaatkan celah kekuasaan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Para tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara menunjukkan nasionalisme yang adaptif, visioner, dan berorientasi pada tujuan akhir: kemerdekaan bangsa.

Hal ini merupakan bentuk nasionalisme strategis, yakni bentuk cinta tanah air yang diwujudkan melalui kecerdikan politik dan diplomasi tanpa kehilangan komitmen terhadap kemerdekaan nasional.


Konsep yang terlibat:

Nasionalisme adaptif dan kontekstual.

Kecerdasan politik dalam masa penjajahan.

Kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi.

Kunci Jawaban: c. Adaptasi strategis untuk mencapai kepentingan nasional


5. Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia masih menghadapi agresi militer Belanda. Dalam situasi tersebut, diplomasi internasional menjadi salah satu cara memperjuangkan kedaulatan negara, misalnya melalui Perundingan Linggarjati (1946) dan Perundingan Renville (1948).

Namun di sisi lain, terdapat kelompok pejuang yang menilai bahwa perundingan dengan Belanda merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat perjuangan bersenjata.

Dalam konteks nasionalisme, perbedaan strategi perjuangan tersebut mencerminkan …

a. Konflik ideologis yang melemahkan nasionalisme bangsa

b. Dinamika penerapan nasionalisme sesuai konteks perjuangan

c. Perpecahan politik akibat kurangnya persatuan

d. Dominasi elite politik terhadap perjuangan rakyat

e. Gagalnya implementasi nilai-nilai kemerdekaan


Pembahasan:

Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada pilihan strategi yang kompleks: mempertahankan kedaulatan melalui diplomasi atau perjuangan bersenjata. Kedua pendekatan tersebut sama-sama mencerminkan nasionalisme, tetapi dalam bentuk yang berbeda:

Diplomasi menggambarkan nasionalisme rasional dan strategis — menggunakan jalur hukum internasional dan politik global.

Perjuangan fisik menggambarkan nasionalisme emosional dan heroik — mempertahankan tanah air dengan pengorbanan jiwa dan raga.

Perbedaan ini bukan tanda lemahnya nasionalisme, tetapi justru menunjukkan kedewasaan bangsa dalam mengelola keragaman strategi demi tujuan nasional yang sama: mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan.

Kunci Jawaban: b. Dinamika penerapan nasionalisme sesuai konteks perjuangan


Daftar Referensi

1. Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

2. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2003.

3. Mohammad Hatta. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Kompas, 2011.

4. Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.

5. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.

6. Dinas Sejarah TNI AD. Sejarah TNI-AD: Perjuangan Kemerdekaan 1945–1949. Jakarta: TNI AD, 1995.

MATERI TWK CPNS : IMPLEMENTASI NASIONALISME DALAM SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

 MATERI TWK CPNS : IMPLEMENTASI NASIONALISME DALAM SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA


Penulis : Manotar Sinaga M.Kes


1. Pengertian dan Hakikat Nasionalisme


Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Secara umum, nasionalisme adalah paham kebangsaan yang menumbuhkan kesadaran terhadap kesatuan dan identitas suatu bangsa, serta tekad untuk mengatur nasib sendiri secara bebas dari dominasi bangsa lain.


Dalam konteks Indonesia, nasionalisme merupakan semangat kebangsaan yang tumbuh dari pengalaman penderitaan bersama akibat penjajahan, yang kemudian membentuk tekad kolektif untuk mencapai kemerdekaan, kesatuan, dan kedaulatan bangsa.


Nasionalisme Indonesia memiliki karakteristik khas:


Tidak bersifat agresif atau chauvinistik (tidak merendahkan bangsa lain).


Berdasarkan nilai kemanusiaan universal dan persaudaraan bangsa-bangsa.


Berakar pada budaya gotong royong dan keadilan sosial.



Soekarno (1930) menyebut nasionalisme Indonesia sebagai “nasionalisme yang berperikemanusiaan”, yakni nasionalisme yang tidak menutup diri dari bangsa lain, melainkan bekerja sama atas dasar kesetaraan.

Sementara Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa nasionalisme sejati harus dibangun atas dasar budi pekerti, kebudayaan, dan keadilan sosial.



2. Latar Belakang Munculnya Nasionalisme di Indonesia


Perkembangan nasionalisme Indonesia merupakan hasil dari proses panjang, baik karena pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal.


a. Faktor Internal


1. Penderitaan akibat penjajahan kolonial

Rakyat Indonesia hidup dalam penindasan ekonomi (tanam paksa, kerja rodi), politik (tidak punya hak menentukan nasib sendiri), dan sosial (diskriminasi rasial).

Kesadaran untuk melawan muncul karena penderitaan bersama ini.



2. Kenangan akan kejayaan masa lalu

Sejarah kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit menjadi sumber inspirasi bahwa bangsa Indonesia pernah jaya dan mampu berdiri sendiri.



3. Perkembangan pendidikan dan munculnya kaum terpelajar

Sekolah-sekolah seperti STOVIA dan Kweekschool melahirkan generasi terdidik seperti dr. Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, dan Cipto Mangunkusumo, yang menjadi pelopor pergerakan nasional.



4. Perkembangan media massa dan organisasi sosial

Surat kabar dan majalah seperti Medan Prijaji (1907) memicu penyebaran ide kesadaran kebangsaan di kalangan rakyat luas.




b. Faktor Eksternal


1. Kemenangan Jepang atas Rusia (1905) menunjukkan bahwa bangsa Asia bisa mengalahkan bangsa Eropa, menumbuhkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.



2. Perkembangan paham demokrasi, liberalisme, dan nasionalisme di Eropa menginspirasi gerakan kemerdekaan di negara jajahan.



3. Gerakan kebangkitan nasional di negara lain, seperti India dengan Gandhi, Filipina dengan José Rizal, dan Turki dengan Mustafa Kemal Atatürk, menjadi contoh perjuangan modern.



3. Tahapan Implementasi Nasionalisme dalam Perjuangan Kemerdekaan


Implementasi nasionalisme di Indonesia berkembang dalam tiga fase utama: perjuangan bersenjata (tradisional), perjuangan organisasi modern, dan perjuangan menuju kemerdekaan.


a. Fase Perjuangan Bersenjata Tradisional (Sebelum 1908)


Nasionalisme masih bersifat lokal dan spontan, dipimpin oleh tokoh-tokoh daerah seperti:


Pangeran Diponegoro (Perang Jawa, 1825–1830)


Imam Bonjol (Perang Padri, 1821–1837)


Pattimura (Perang Maluku, 1817)


Sultan Hasanuddin (Makassar, 1666–1669)



Meskipun bersifat kedaerahan, perjuangan mereka mencerminkan cikal bakal nasionalisme, yaitu kesadaran untuk mempertahankan tanah air dari penjajah asing.


b. Fase Pergerakan Nasional (1908–1942)


Fase ini menjadi tonggak penting dalam sejarah nasionalisme Indonesia karena perjuangan mulai dilakukan secara terorganisir, modern, dan ideologis.


1. Budi Utomo (1908)

→ Organisasi modern pertama di Indonesia yang memperjuangkan kemajuan pendidikan dan kesadaran persatuan bangsa Jawa.

Makna nasionalisme: menumbuhkan rasa cinta bangsa melalui pendidikan dan kebudayaan.



2. Sarekat Islam (1911)

→ Berawal dari solidaritas pedagang pribumi, lalu berkembang menjadi gerakan politik dan sosial terbesar.

Makna nasionalisme: kebersamaan ekonomi dan persatuan umat untuk melawan penindasan kolonial.



3. Indische Partij (1912)

→ Organisasi politik pertama yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan Indonesia.

Didirikan oleh Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara.

Makna nasionalisme: kesadaran politik yang melampaui sekat etnis.



4. Perhimpunan Indonesia (1925)

→ Organisasi mahasiswa di Belanda yang mempopulerkan istilah “Indonesia Merdeka”.

Makna nasionalisme: diplomasi politik di tingkat internasional.



5. Sumpah Pemuda (1928)

→ Momentum puncak persatuan nasional: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.

Makna nasionalisme: simbol kesadaran identitas kebangsaan yang menyatukan seluruh daerah dan suku.



6. Partai Nasional Indonesia (1927)

→ Didirikan oleh Ir. Soekarno untuk memperjuangkan kemerdekaan politik bangsa.

Makna nasionalisme: menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan harus diperjuangkan secara kolektif.



c. Fase Pendudukan Jepang (1942–1945)


Walaupun berada di bawah kekuasaan baru, semangat nasionalisme justru meningkat karena Jepang membuka ruang bagi tokoh-tokoh Indonesia untuk berorganisasi.

Implementasi nasionalisme terlihat melalui:


Pembentukan organisasi seperti PUTERA, Jawa Hokokai, dan BPUPKI.


Latihan kepemimpinan dan militer (PETA, Heiho) yang menumbuhkan rasa percaya diri bangsa.


Perumusan dasar negara dan UUD 1945 melalui BPUPKI dan PPKI.



Bangsa Indonesia memanfaatkan situasi ini untuk menyiapkan kemerdekaan secara sistematis.



d. Fase Proklamasi dan Mempertahankan Kemerdekaan (1945–1949)


Puncak implementasi nasionalisme adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan wujud nyata tekad bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri.


Setelah proklamasi, semangat nasionalisme diwujudkan melalui:


Perjuangan fisik, seperti Pertempuran Surabaya (10 November 1945), Medan Area, dan Bandung Lautan Api.


Perjuangan diplomasi, seperti Perjanjian Linggarjati (1947) dan Renville (1948).



Keduanya menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia bukan hanya semangat melawan penjajah, tetapi juga kemampuan untuk bernegosiasi, bersatu, dan mempertahankan kemerdekaan dengan martabat.



4. Nilai-Nilai Nasionalisme yang Dapat Diterapkan di Masa Kini


Semangat nasionalisme tidak berhenti setelah kemerdekaan diraih. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, nilai-nilai nasionalisme harus terus diimplementasikan, antara lain:


1. Cinta Tanah Air

→ Melestarikan lingkungan, mencintai budaya lokal, dan menggunakan produk dalam negeri.



2. Rasa Persatuan dan Kesatuan

→ Menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan golongan sebagai kekayaan bangsa.



3. Rela Berkorban untuk Kepentingan Bangsa

→ Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan.



4. Disiplin dan Tanggung Jawab

→ Menjalankan tugas sebagai warga negara dengan penuh integritas.



5. Bangga sebagai Bangsa Indonesia

→ Menjunjung tinggi bahasa Indonesia, simbol negara, dan prestasi bangsa di kancah global.




5. Kesimpulan


Implementasi nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan proses panjang kesadaran kolektif bangsa dari masa penjajahan hingga kemerdekaan.


Nasionalisme Indonesia bukan hanya semangat melawan penjajah, tetapi juga kesadaran untuk membangun persatuan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini harus terus dijaga dan diamalkan agar cita-cita kemerdekaan dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat.



Daftar Referensi


1. Soekarno. (1930). Indonesia Menggugat. Jakarta: Balai Pustaka.

2. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Taman Siswa.

3. Sartono Kartodirdjo. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.

4. Nugroho Notosusanto. (1984). Sejarah Nasional Indonesia III & V. Jakarta: Balai Pustaka.

5. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

6. Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017–2020). Buku PPKn dan Sejarah Indonesia SMA/M

A Edisi Revisi.

8. Budianto, A. (2015). Perjuangan Diplomasi dan Politik Bangsa Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.

9. Arsip Nasional Republik Indonesia. (2020). Dokumen BPUPKI dan PPKI.