Minggu, 26 Oktober 2025

Soal TWK CPNS tentang implementasi nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia

 Soal TWK CPNS tentang implementasi nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. 


1. Pada awal abad ke-20, organisasi B mendirikan sekolah, mengorganisir perkumpulan ekonomi, dan menerbitkan koran berbahasa daerah untuk membangkitkan kesadaran politik. Di kota lain, organisasi C yang beranggotakan mahasiswa di luar negeri mengadvokasi satu identitas nasional tunggal (bahasa dan nama negara) melalui tulisan-tulisan politiknya. Kedua organisasi itu tampak berbeda cara dan basisnya, namun keduanya berkontribusi pada lahirnya satu gerakan kebangsaan yang lebih luas. Berdasarkan teori proses nasionalisasi dan bukti sejarah pergerakan nasional Indonesia, pernyataan manakah yang paling tepat menggambarkan bagaimana interaksi antara strategi berbasis lokal (sekolah, pesan ekonomi, media lokal) dan strategi diasporik/intelektual (organisasi mahasiswa di luar negeri) mempercepat munculnya identitas nasional Indonesia?

A. Strategi lokal lebih menentukan karena menyentuh massa; kontribusi organisasi luar negeri hanya bersifat simbolis dan tidak praktis.

B. Organisasi diaspora bertindak sebagai katalis utama; tanpa tulisan dan istilah yang mereka populerkan, gerakan lokal hanya akan terfragmentasi menjadi gerakan daerah.

C. Kedua strategi saling melengkapi: basis lokal menyediakan jaringan massa dan legitimasi sosial, sementara jaringan intelektual diaspora menyintesis gagasan identitas dan menyediakan bahasa politik yang mempersatukan.

D. Integrasi kedua strategi hanya mungkin ketika dipimpin oleh elit tunggal yang memaksakan satu model organisasi; tanpa itu, persatuan tidak akan tercapai.

E. Peran media lokal lebih penting daripada aktivitas pendidikan karena hanya media yang mampu menyampaikan pesan ke wilayah luas.


Pembahasan:

Langkah penalaran: bandingkan bukti sejarah (Budi Utomo, Sarekat Islam, Medan Prijaji; Perhimpunan Indonesia di Belanda, Indische Partij) dan teori nasionalisme (kombinasi struktural-kultural).

1. Bukti empiris: Organisasi lokal (sekolah, koperasi, koran lokal) membangun basis massa, literasi politik, dan legitimasi sosial (mis. Medan Prijaji, Sarekat Islam). Tanpa basis ini, gagasan abstrak tidak menjadi gerakan massa.

2. Peran diaspora/intelektual: Perhimpunan Indonesia dan Indische Partij populerkan istilah politik (mis. “Indonesia Merdeka”), merumuskan gagasan kelembagaan dan bahasa politik yang bisa diterima lintas daerah.

3. Sinergi: Sumpah Pemuda (1928) adalah contoh titik temu—produk interaksi: ide nasional yang disebarkan intelektual dan komitmen massa yang dibangun lokal.

4. Alternatif A dan B bersifat ekstrem; D salah karena kepemimpinan tunggal bukan prasyarat mutlak (coalition politics cukup); E mengabaikan pendidikan/pemberdayaan struktur.

Kunci Jawaban: C.

Opsi C paling lengkap dan selaras bukti sejarah serta teori.



2. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintah republik menghadapi dilema: mempertahankan kedaulatan melalui perang terbuka yang bisa menyebabkan kehancuran di kota-kota besar, atau melakukan deregulasi sementara dan lebih mengedepankan jalur diplomasi internasional demi mengonsolidasikan legitimasi. Beberapa pemimpin berargumen bahwa nasionalisme defensif (mengutamakan nyawa rakyat dan infrastruktur) harus dipilih; yang lain berpendapat bahwa nasionalisme konfrontatif (melawan kapan pun mungkin) adalah satu-satunya jalan untuk menunjukkan keteguhan bangsa terhadap penjajah.

Jika Anda adalah penasihat strategi bagi pemerintah RI waktu itu, pendekatan manakah yang paling efektif untuk mempertahankan kemerdekaan jangka panjang sambil meminimalkan kerusakan sosial-ekonomi? Pilih jawaban yang paling mendekati berdasarkan analisis sejarah konflik 1945–1949 dan teori tentang legimitasi serta pembentukan negara baru.

A. Mengutamakan nasionalisme konfrontatif: perang terbuka menunjukkan tekad dan menghasilkan legitimasi internal yang kuat.

B. Mengutamakan diplomasi penuh: menghindari pertempuran besar agar infrastruktur tetap utuh dan mengandalkan opini internasional.

C. Strategi hibrid: pertahankan posisi strategis dan lakukan aksi militer selektif untuk menciptakan leverage diplomatik, sambil memaksimalkan upaya diplomasi internasional.

D. Menyerah pada superioritas militer musuh untuk menghindari kehancuran lalu negoisasi internal guna mendapatkan otonomi bertahap.

E. Fokus pada reorganisasi administratif dan pembangunan pelayanan publik, menunda konflik militer/diplomasi sampai kekuatan ekonomi kembali pulih.


Pembahasan:

Langkah penalaran: analisis bagaimana RI bertahan — kombinasi perjuangan fisik (Surabaya, pertempuran lainnya) dan diplomasi (Linggarjati, Renville, Konferensi Meja Bundar).

1. Perjuangan fisik menunjukkan legitimasi dan keteguhan—mendorong semangat nasional dan menahan agresor, namun bila bersifat total dapat menghancurkan negara.

2. Diplomasi internasional penting untuk menghambat intervensi terbuka dari kekuatan lain dan memperoleh pengakuan; namun diplomasi tanpa kemampuan militer untuk menegaskan klaim seringkali lemah.

3. Praktik sejarah: Republik melakukan keduanya—peperangan lokal intens + negosiasi internasional—yang akhirnya membuka jalur pengakuan.

4. Opsi D dan E ekstrem dan berisiko melemahkan klaim kedaulatan.

Kunci Jawaban: C

Opsi C (strategi hibrid, selektif) terbaik karena secara empiris terbukti bekerja dan teoritis mendukung pembentukan negara yang berkelanjutan.



3. Seorang sejarawan modern menilai dua pendekatan nasionalisme: nasionalisme etnis yang menekankan asal-usul kultural tertentu, dan nasionalisme sipil (civic) yang menekankan kesamaan politik (warga negara, konstitusi). Ia menggunakan kasus Indonesia untuk menunjukkan bahwa bentuk nasionalisme yang diadopsi saat kemerdekaan menentukan stabilitas pasca-merdeka: jika negara memilih kriteria etnis, konflik vertikal meningkat; bila memilih kriteria sipil (konstitusi, Pancasila), integrasi lebih mungkin.

Berdasarkan perjalanan sejarah perumusan dasar negara (BPUPKI, perdebatan tentang dasar negara), manakah argumen paling kuat yang mendukung klaim bahwa Pancasila merepresentasikan nasionalisme sipil (civic) yang cocok untuk Indonesia yang plural?

A. Pancasila menekankan satu agama (ketuhanan) sehingga ia sebenarnya mendekati nasionalisme etnis berbasis agama.

B. Pancasila menyatukan prinsip politik (kedaulatan rakyat, keadilan sosial) yang memungkinkan keberagaman suku dan agama hidup bersama dalam kerangka konstitusi—ciri nasionalisme sipil.

C. Pancasila gagal karena tetap menyisakan ruang bagi dominasi kelompok mayoritas sehingga tidak sepenuhnya civic.

D. Pancasila lebih tepat disebut kompromi pragmatis daripada manifestasi nasionalisme sipil, sehingga klaim apapun tentang civic nature-nya lemah.

E. Nasionalisme sipil tidak relevan; yang menentukan stabilitas adalah kesejahteraan ekonomi, bukan bentuk ideologi dasar negara.


Pembahasan:

Langkah penalaran: evaluasi teks Pancasila, proses perumusan (BPUPKI), dan konteks pluralitas Indonesia.

1. Pancasila mengandung sila-sila yang normatif: Ketuhanan Yang Maha Esa (mengakui dimensi religius), Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan Sosial — struktur ini menekankan prinsip bersama, bukan identitas etnis tunggal.

2. Dialog BPUPKI menunjukkan upaya merumuskan dasar yang inklusif—meski ada perdebatan tajam (Piagam Jakarta vs naskah final), hasilnya adalah bentuk konsensus politik.

3. Opsi A terlalu menyederhanakan; keberadaan unsur religius tidak sama dengan etnisitas dominan. Opsi C dan D mengandung kritik valid tapi tidak meniadakan fakta bahwa Pancasila menyediakan kerangka sipil konstitusional. Opsi E mengalihkan fokus.

Kunci Jawaban: B

B paling akurat: Pancasila berfungsi sebagai landasan civic—menyatukan pluralitas di bawah norma konstitusional.



4. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), banyak tokoh pergerakan nasional memanfaatkan organisasi bentukan Jepang seperti PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai wadah perjuangan politik. Meskipun organisasi-organisasi ini awalnya dimaksudkan untuk kepentingan Jepang, para tokoh Indonesia menggunakannya untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.

Dari sudut pandang implementasi nilai nasionalisme, fenomena ini mencerminkan sikap …

a. Kepatuhan total terhadap pemerintah penjajah demi keamanan nasional

b. Kolaborasi politik tanpa mempertimbangkan cita-cita bangsa

c. Adaptasi strategis untuk mencapai kepentingan nasional

d. Perlawanan bersenjata langsung terhadap penjajah

e. Ketergantungan ideologis terhadap kekuatan asing


Pembahasan:

Perjuangan melalui PUTERA dan BPUPKI menunjukkan kemampuan bangsa Indonesia untuk menyesuaikan strategi perjuangan dengan situasi dan peluang politik yang tersedia. Nasionalisme dalam konteks ini tidak selalu berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga kecerdasan dalam memanfaatkan celah kekuasaan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Para tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara menunjukkan nasionalisme yang adaptif, visioner, dan berorientasi pada tujuan akhir: kemerdekaan bangsa.

Hal ini merupakan bentuk nasionalisme strategis, yakni bentuk cinta tanah air yang diwujudkan melalui kecerdikan politik dan diplomasi tanpa kehilangan komitmen terhadap kemerdekaan nasional.


Konsep yang terlibat:

Nasionalisme adaptif dan kontekstual.

Kecerdasan politik dalam masa penjajahan.

Kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi.

Kunci Jawaban: c. Adaptasi strategis untuk mencapai kepentingan nasional


5. Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia masih menghadapi agresi militer Belanda. Dalam situasi tersebut, diplomasi internasional menjadi salah satu cara memperjuangkan kedaulatan negara, misalnya melalui Perundingan Linggarjati (1946) dan Perundingan Renville (1948).

Namun di sisi lain, terdapat kelompok pejuang yang menilai bahwa perundingan dengan Belanda merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat perjuangan bersenjata.

Dalam konteks nasionalisme, perbedaan strategi perjuangan tersebut mencerminkan …

a. Konflik ideologis yang melemahkan nasionalisme bangsa

b. Dinamika penerapan nasionalisme sesuai konteks perjuangan

c. Perpecahan politik akibat kurangnya persatuan

d. Dominasi elite politik terhadap perjuangan rakyat

e. Gagalnya implementasi nilai-nilai kemerdekaan


Pembahasan:

Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada pilihan strategi yang kompleks: mempertahankan kedaulatan melalui diplomasi atau perjuangan bersenjata. Kedua pendekatan tersebut sama-sama mencerminkan nasionalisme, tetapi dalam bentuk yang berbeda:

Diplomasi menggambarkan nasionalisme rasional dan strategis — menggunakan jalur hukum internasional dan politik global.

Perjuangan fisik menggambarkan nasionalisme emosional dan heroik — mempertahankan tanah air dengan pengorbanan jiwa dan raga.

Perbedaan ini bukan tanda lemahnya nasionalisme, tetapi justru menunjukkan kedewasaan bangsa dalam mengelola keragaman strategi demi tujuan nasional yang sama: mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan.

Kunci Jawaban: b. Dinamika penerapan nasionalisme sesuai konteks perjuangan


Daftar Referensi

1. Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

2. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2003.

3. Mohammad Hatta. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Kompas, 2011.

4. Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.

5. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.

6. Dinas Sejarah TNI AD. Sejarah TNI-AD: Perjuangan Kemerdekaan 1945–1949. Jakarta: TNI AD, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar